FOPO (Fear of Other People’s Opinion) atau yang lebih sering kita kenal dengan kecemasan akan pendapat orang lain ini dapat menganggu kesehatan mental jika terjadi secara terus menerus. Coba bayangin aja deh kalau kita mau melakukan apa pun standardnya adalah pendapat orang lain? Duh, selain tersiksa justru kita ga bisa melakukan apa yang sebenarnya bisa lebih baik versi kita.
Menurut Psikolog UGM, T. Novi Poespita Candra, S.Psi., M.Si., PhD pengunaan media sosial menjadi salah satu pemicu orang-orang mengalami FOPO. Ini karena cara kerja media sosial yang terbuka, sehingga siapa pun dapat memberikan pendapat secara terbuka, membagikan apa pun secara terbuka sehingga memunculkan standard keseragaman, sedikit berbeda saja akan dianggap aneh.
Kondisi ini, lanjutnya, terjadi karena seseorang belum memiliki kesadaran akan identitas diri sendiri. Di usia remaja seseorang harus mengenal dirinya, jika diberikan ruang untuk mengenal dirinya maka akan memiliki kesadaran diri terhadap dirinya. Apabila kesadaran diri ini sudah dimiliki maka identitas diri bisa terbentuk baik sehingga tidak akan cemas pendapat orang lain dan tidak takut berbeda.
“Rata-rata orang Indonesa sekarang mengalami FOPO, takut dinilai jelek, salah, dan gagal,” katanya.
Nah loh, kok terdengar menyeramkan ya.
Ternyata memang dampatnya sangat menyeramkan loh, ketakutan akan pendapat orang lain ini jika berlanjut dapat mengakibatkan gangguan kecemasan sosial. Kondisi tersebut bisa memunculkan dampak negatif bagi kesehatan mental seperti mudah stres apabila mengalami kegagalan. Selain itu juga menjadikan seseorang tidak mengetahui apa yang menjadi keinginan diri karena semua yang dilakukan untuk memenuhi harapan publik.
Terus gimana dong?
“Kalau punya energi percaya diri yang bagus tidak akan mudah cemas/FOMO. Karenanya harus dibentuk ekosistem yang menumbuhkan kepercayaan diri dengan memberikan ruang-ruang bagi keunikan setiap manusia,”urainya.
Lantas bagaimana jika sudah terlanjur FOPO? Apabila kecemasan yang dirasakan belum terlalu berat, Novi menyarankan untuk mengatasinya melalui pendekatan kognitif yakni dengan diajak berdialog. Misalnya berdialog terkait mengapa tidak berani memutuskan, efeknya apa, manfaat maupun kerugian jika seperti itu dan lainnya. Dengan adanya dialog bisa membantu cara berpikir dan akan mendorong cara seseorang dalam bersikap.
Berikutnya, banyak beraktivitas. Semakin banyak kegiatan positif yang dilakukan akan mengurangi kecemasan yang dihadapi.
“Jika sudah merasa parah sampai traumatik, maka segera hubungi profesional seperti psikolog maupun konselor,”pungkasnya.
Nah, kesimpulannya guys… datang ke psikolog bukanlah aib karena kesehatan mental itu penting. Tidak apa-apa, kalau malu… simpan untukmu sendiri ga perlu yang lain tahu.
Posting Komentar
Posting Komentar