Ini ceritaku bertemu dengan jodohku.
Awal tahun 2016 aku bergabung dengan sebuah komunitas menulis online, sebagai tantangan sebelum dinyatakan sebagai anggota, kami diwajibkan menulis setiap hari selama 3 bulan penuh. Bebas, tanpa minimal kata dan dengan media blog.
Nah, ada satu anggota yang memang unik, jadi dia selalu posting pertama setiap harinya, 1 atau 2 menit di awal hari. Iya benar, tengah malam dia laporan link tulisan. Sontak saja anggota ini menjadi yang terkenal di grup, terlebih memang dia sering muncul dan berinteraksi di grup.
Mengikuti cara interaksinya sih, dia terlihat seperti pribadi yang menarik. Maka aku yang tidak terlalu aktif di grup mencoba cara lain untuk mendekatinya.
Blog miliknya ternyata sudah aktif sejak lama, banyak tulisan yang sudah tayang jauh sebelum tahun dia bergabung di komunitas menulis, ternyata memang dia sudah cinta menulis sejak dulu. Hampir semua tulisannya aku baca dan meninggalkan komentar, setelah itu memberanikan diri untuk chat pribadi mengomentari tulisannya.
Taraaa… gayung bersambut. Kami mulai dekat, sering berdiskusi seputar tulisan hingga terbitlah sebuah buku novel hasil kolaborasi kami berdua. Gongnya mau tau? Yupp, dia menulis 1 buku kumpulan puisi sebagai mahar pernikahan kami di tahun 2019. Hueheheh.
Aku Dipilih Karena Cantik
Aku dan dia terpisah jarak ratusan kilometer, jadi setelah menikah adalah kesempatan untuk menanyakan apa pun yang susah disampaikan.
Sebagai makhluk visual, dia mengakui jika akhirnya memilih aku karena aku cantik. Dulu itu ketika aku mengirim pesan pertama kali, sebelum dia membalas dia lebih duku berselancar di akun media sosialku, membaca sedikit informasi yang dibagikan juga mengamati paras melalui foto yang disematkan. Setelah dirasa cukup cantik barulah dia menyambut interaksi denganku.
Hingga tahun keempat pernikahan, dia masih sering memuji kecantikanku.
Benarkah cuma karena cantik?
Selektif dalam memilih pasangan hidup membuat dia rela menempuh ratusan kilometer untuk menghalalkanku, baginya aku sudah sesuai dengan kriteria calon pendamping, jadi jangan sampai lepas.
Pernah suatu kali aku bertanya, memang cuma karena cantik?
Mau tahu jawabannya?
TIDAK.
Jika hanya cantik semata maka Bandung adalah kotanya mojang geulis, tak perlu jauh-jauh menjemputku ke Solo. Nyatanya aku dipilih karena dia tahu aku kuliah, suka menulis yang artinya mau membaca dan sederhana.
Bahkan sampai sekarang pun aku terlena dengan privilege ini, hingga waktu berlalu dan keadaan menyadarkanku.
Karir suami melesat cepat, aku hanya berdiam diri di rumah mengurus dua anak kami. Ada kekhawatiran yang terselip hingga resah jika terus dipendam.
“Aa… malu ga kalau istrinya aku?”
“Kenapa malu? Istri aku cantik.”
Senyum menghiasi wajahku, tapi kenyataannya bukan cuma itu. Di lingkungannya bekerja pasti akan selalu ditanya profesi istri, sedangkan aku kan pengangguran, tidak memiliki jabatan yang bisa dibanggakan.
“Aku sering bilang kok kalau istri aku suka nulis.”
Rasanya lega mendengar dia tahu kekhawatiran aku. Masih menjaga harga diri istrinya di depan teman-temannya.
“Atau mau kuliah lagi? Aku sanggup kok biayain.”
Hueheheh, emang ini suami idaman banget sih.
Seiring berjalannya waktu aku terus mensyukuri nikmat yang Allah Ta’ala berikan berupa kecantikan paras, namun ternyata cantik saja tidak cukup untuk membuat diri kita berharga di mata orang lain.
“Kamu nyambung kalau diajak ngobrol, cantik tapi oon mah buat apa, ga cocok dijadiin pendamping.”
Lagi-lagi aku selalu dibuat terbang ke langit mendengar pujian suami. Tapi memang begitulah… kecantikan ini harus diikuti dengan kecerdasan, sebab yang tersisa dari pernikahan adalah obrolan-obrolan (Raditya Dika).
Posting Komentar
Posting Komentar