Kenangan terindahku dimulai dari mendengarkan kisah kakak sulung tentang petualangannya mendaki gunung, itulah satu-satunya alasan terkuatku untuk masuk ke sebuah sekolah menengah atas, hhaa. Sungguh sempit sekali pikiran kala itu. Alhamdulillah semua berjalan lancar dan tiba saatnya aku mengukir pengalaman sendiri di sebuah gunung diperbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kami tiba di basecamp menjelang magrib, setelah mengisi perut, beristirahat dan bersiap diri, pukul 09.00 WIB malam dimulai dengan doa agar selamat kami mulai melangkah. Oh tentu saja banyak drama selama pendakian, beberapa teman terserang masuk angin, gejala awal pusing dan mual yang tentu saja menyendat perjalanan. Para senior yang telah terbagi memutuskan untuk mengajak mereka yang tak kuat lagi untuk berhenti dan mendirikan tenda, tak mungkin memaksakan diri untuk melanjutkan. Aku?
Hhaa... saat itu aku berada di tengah kelompok, enggan rasanya untuk tinggal padahal tentu saja hangat dengan coklat panas mengepul dan makanan ringan lainnya. Pilihan jatuh pada mengejar kelompok di depan dengan meneriakkan mereka untuk menunggu. Singkatnya terbagilah menjadi dua kelompok, aku bersama dua teman lainnya lenjut berjalan ditemani dua senior berpengalaman. Sepanjang jalur pendakian ada saja suntuikan semangat dari senior, kala beristirahat lampu kota yang terhampar di bawah menjadikan kita tak henti berdecak kagum, gemintang di langit terasa dekat untuk digapai.
Oh jelas pendakian ini bukan tanpa masalah ya, sering kami berhenti karena napas yang tak sampai namun ada larangan untuk duduk dan minum terlalu lama dari senior, menyebalkan bukan? namun itulah yang akhirnya mengantarkan kami tiba di puncak bahkan sebelum subuh.
Terlalu lama berdiam diri akan membuat tubuh diterpa angin gunung yang membuat menggigil, air yang terlalu banyak masuk akan membuat berat tubuh, semuanya memang harus secukupnya saja, sedikit dipaksakan namun jangan abaikan tentang pusing dan mual dan bisa saja menyerang. Sebenarnya lebih enak jika sudah muntah, maka tubuh akan terasa ringan.
Kedua senior segera terlelap di tempat tertutup di puncak (beruntung sekali ada tepat beristirahat semacam ini di puncak jadi dome kami tidak perlu dibuka), sedang kami bertiga jelas enggan melewatkan sunrise yang sebentar lagi akan menyapa di ufuk timur.
Sembari menungggu fajar menyingsing, kami menghangatkan badan dengan sleeping bag juga bekal yang dibawa, setelah itu keluar dari tempat peristirahatan dan menunggu apa yang banyak dicari oleh para pendaki.
Tibalah saat itu, segala gawai yang berkamera dikeluarkan untuk mengabadikan momen namun sayang, di tahun 2009 fasilitas gawai belum mampu menangkap keindahan itu, eh atau gawai kami saja ya? hhee
Hangat mulai menyapa, ada rasa haru dalam dada melihat sekeliling begitu sunyi dan kami merasa bangga menjadi sebagian kecil dari kelompok yang bisa sampai puncak.
Kegiatan kami lanjutkan dengan menata batu-batu membentuk nama organisasi pecinta alam di sekolah kami, merangkai nama masing-masing, kemudian berteriak sesuka hati, entah menyebutkan kalimat "Emak, anakmu sampai puncak," atau kata-kata ajaib lainnya. Lelah melakukannya kami hanya diam sembari mengedarkan pandangan, menikmati gumpalan awan putih bersih di bawah kaki, langit biru yang seolah mudah digapai, dan puncak-puncak gunung lain di ujung sana. Oh Allah, bahkan untuk menggambarkan keindahan ciptaan-Mu mulut kami tak mampu berkata-kata.
Tak berapa lama, ada beberapa pendaki yang muncul dan langsung menyapa kami, "Tadi yang teriak-teriak ya?" Kami hanya tersenyum dan saling menunjuk ke arah teman lain.
Kami memutuskan masuk ke tempat peristirahatan, dan mendapati kedua senior telah bersiap untuk turun, sebelumnya kami tak lupa berfoto di tugu puncak, bukti otentik, hhaa.
Tak lama turun kami bertemu dengan kelompok yang kemarin tertinggal, kedua senior berpamitan untuk pulang terlebih dahulu karena ada pekerjaan di bawah jadi kami para bocil ikut kelompok ini, beruntung ada beberapa senior yang memutuskan untuk berdiam diri dan menunggu beberapa yang mau lanjut ke puncak, kami ikut menunggu sembari terlelap, hhaa. Baru sadar kan kami belum tidur semalaman?
Eh ternyata di pos 1 ada kelompok yang lain, mereka yang tidak bisa muntah walau pusing dan mual sudah diujung tanduk, ya terpaksa tidak mungkin lanjut, berbahaya, puncak bukan tujuan kan.
Keberhasilan pendakian pertama ini secara tidak sengaja meningkatkan rasa percaya diriku, entah mengapa bisa begitu, dan rasa inilah yang membawaku bertualang ke puncak-puncak gunung lainnya.
Pengalaman berharga yang entah akankah bisa diulang kembali, setelah sebuah film yang booming di tahun 2012 tentang perjuangan pendakian semuanya tak lagi sama. Semua berbondong-bondong datang demi ego walau nihil ilmu. Penuh sesak dan puncak menjadi tujuan utama, peralatan diabaikan, ilmu bertahan diri dikesampingkan, keamanan dan keselamatan diri bukan hal penting lagi. Bersamaan dengan itu, hilang sudah keinginan menikmati sunrise di puncak lagi. Ahh, keheningan dan keagungan gunung tak lagi dihormati.
Satu yang selalu kuingat tentang pesan senior, "Tujuan utama pendakian adalah pulang dengan selamat, ingat bukan semata sampai Puncak."
Tulisan ini bukan bertujuan untuk menyalahkan beberapa pihak, hanya sebagai pengingat bersama bahwa alam adalah tempat yang tak terduga bahkan segala persiapan matang pun bukan tandingan, apalagi tanda kesadaran untuk mempersiapkan diri?
Yuk, tahan ego, bekali diri dengan ilmu sebelum melakukan suatu hal.
Salam lestari dari saya pendaki yang pensiun dini, hhii.
Kami tiba di basecamp menjelang magrib, setelah mengisi perut, beristirahat dan bersiap diri, pukul 09.00 WIB malam dimulai dengan doa agar selamat kami mulai melangkah. Oh tentu saja banyak drama selama pendakian, beberapa teman terserang masuk angin, gejala awal pusing dan mual yang tentu saja menyendat perjalanan. Para senior yang telah terbagi memutuskan untuk mengajak mereka yang tak kuat lagi untuk berhenti dan mendirikan tenda, tak mungkin memaksakan diri untuk melanjutkan. Aku?
Hhaa... saat itu aku berada di tengah kelompok, enggan rasanya untuk tinggal padahal tentu saja hangat dengan coklat panas mengepul dan makanan ringan lainnya. Pilihan jatuh pada mengejar kelompok di depan dengan meneriakkan mereka untuk menunggu. Singkatnya terbagilah menjadi dua kelompok, aku bersama dua teman lainnya lenjut berjalan ditemani dua senior berpengalaman. Sepanjang jalur pendakian ada saja suntuikan semangat dari senior, kala beristirahat lampu kota yang terhampar di bawah menjadikan kita tak henti berdecak kagum, gemintang di langit terasa dekat untuk digapai.
Oh jelas pendakian ini bukan tanpa masalah ya, sering kami berhenti karena napas yang tak sampai namun ada larangan untuk duduk dan minum terlalu lama dari senior, menyebalkan bukan? namun itulah yang akhirnya mengantarkan kami tiba di puncak bahkan sebelum subuh.
Terlalu lama berdiam diri akan membuat tubuh diterpa angin gunung yang membuat menggigil, air yang terlalu banyak masuk akan membuat berat tubuh, semuanya memang harus secukupnya saja, sedikit dipaksakan namun jangan abaikan tentang pusing dan mual dan bisa saja menyerang. Sebenarnya lebih enak jika sudah muntah, maka tubuh akan terasa ringan.
Kedua senior segera terlelap di tempat tertutup di puncak (beruntung sekali ada tepat beristirahat semacam ini di puncak jadi dome kami tidak perlu dibuka), sedang kami bertiga jelas enggan melewatkan sunrise yang sebentar lagi akan menyapa di ufuk timur.
Sembari menungggu fajar menyingsing, kami menghangatkan badan dengan sleeping bag juga bekal yang dibawa, setelah itu keluar dari tempat peristirahatan dan menunggu apa yang banyak dicari oleh para pendaki.
Tibalah saat itu, segala gawai yang berkamera dikeluarkan untuk mengabadikan momen namun sayang, di tahun 2009 fasilitas gawai belum mampu menangkap keindahan itu, eh atau gawai kami saja ya? hhee
Hangat mulai menyapa, ada rasa haru dalam dada melihat sekeliling begitu sunyi dan kami merasa bangga menjadi sebagian kecil dari kelompok yang bisa sampai puncak.
Kegiatan kami lanjutkan dengan menata batu-batu membentuk nama organisasi pecinta alam di sekolah kami, merangkai nama masing-masing, kemudian berteriak sesuka hati, entah menyebutkan kalimat "Emak, anakmu sampai puncak," atau kata-kata ajaib lainnya. Lelah melakukannya kami hanya diam sembari mengedarkan pandangan, menikmati gumpalan awan putih bersih di bawah kaki, langit biru yang seolah mudah digapai, dan puncak-puncak gunung lain di ujung sana. Oh Allah, bahkan untuk menggambarkan keindahan ciptaan-Mu mulut kami tak mampu berkata-kata.
Tak berapa lama, ada beberapa pendaki yang muncul dan langsung menyapa kami, "Tadi yang teriak-teriak ya?" Kami hanya tersenyum dan saling menunjuk ke arah teman lain.
Kami memutuskan masuk ke tempat peristirahatan, dan mendapati kedua senior telah bersiap untuk turun, sebelumnya kami tak lupa berfoto di tugu puncak, bukti otentik, hhaa.
Tak lama turun kami bertemu dengan kelompok yang kemarin tertinggal, kedua senior berpamitan untuk pulang terlebih dahulu karena ada pekerjaan di bawah jadi kami para bocil ikut kelompok ini, beruntung ada beberapa senior yang memutuskan untuk berdiam diri dan menunggu beberapa yang mau lanjut ke puncak, kami ikut menunggu sembari terlelap, hhaa. Baru sadar kan kami belum tidur semalaman?
Eh ternyata di pos 1 ada kelompok yang lain, mereka yang tidak bisa muntah walau pusing dan mual sudah diujung tanduk, ya terpaksa tidak mungkin lanjut, berbahaya, puncak bukan tujuan kan.
Keberhasilan pendakian pertama ini secara tidak sengaja meningkatkan rasa percaya diriku, entah mengapa bisa begitu, dan rasa inilah yang membawaku bertualang ke puncak-puncak gunung lainnya.
Pengalaman berharga yang entah akankah bisa diulang kembali, setelah sebuah film yang booming di tahun 2012 tentang perjuangan pendakian semuanya tak lagi sama. Semua berbondong-bondong datang demi ego walau nihil ilmu. Penuh sesak dan puncak menjadi tujuan utama, peralatan diabaikan, ilmu bertahan diri dikesampingkan, keamanan dan keselamatan diri bukan hal penting lagi. Bersamaan dengan itu, hilang sudah keinginan menikmati sunrise di puncak lagi. Ahh, keheningan dan keagungan gunung tak lagi dihormati.
Satu yang selalu kuingat tentang pesan senior, "Tujuan utama pendakian adalah pulang dengan selamat, ingat bukan semata sampai Puncak."
Tulisan ini bukan bertujuan untuk menyalahkan beberapa pihak, hanya sebagai pengingat bersama bahwa alam adalah tempat yang tak terduga bahkan segala persiapan matang pun bukan tandingan, apalagi tanda kesadaran untuk mempersiapkan diri?
Yuk, tahan ego, bekali diri dengan ilmu sebelum melakukan suatu hal.
Salam lestari dari saya pendaki yang pensiun dini, hhii.
wah mantap mbak, luar biasa ya alam kita, tp sayang msh banyak yg blm baik dg alam :)
BalasHapus