Tepat di hari raya Idul Adha tahun lalu, engkau kembali ke kotamu setelah sebelumnya melintasi ratusan kilometer untuk meminta Bapak mempercayakan anak gadisnya. Degub jantung mungkin teredam oleh suara hewan qurban namun senyuman ini tak ada yang mampu menutupinya. Aku bahagia menjelang hari raya di tahun ini akhirnya kita bersama.
Nyatanya pernikahan bukanlah gula-gula yang hanya memiliki rasa manis saja namun berbalut begitu banyak ujian yang justru menjadikannya sempurna dengan segala rasa. Allah Ta'ala Sang Maha Cinta telah memberikan kisah cinta menarik yang tertulis dalam surat cinta-Nya sebagai pedoman bagaimana sepasang kekasih yang berada dalam ikatan suci pernikahan menyikapi setiap ujian yang datang menerpa rumah tangga.
Nabi Ibrahim as mendapatkan wahyu untuk membawa istrinya menuju tanah tandus tak berpenghuni. Disinilah ketaatan seorang istri yang Ibunda Hajar tunjukkan terhadap suaminya. Malam-malam dingin dan panas terik yang selalu menemani perjalan mereka tak menjadikan beliau ragu dengan tujuan suaminya, padahal saat itu Nabi Ibrahim tidak memberitahukan tujuan dari perjalan mereka. Ada rasa percaya bahwa suaminya tidak akan membawanya ke sesuatu yang salah.
Hingga tibalah mereka di padang pasir, Allah Ta'ala memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan Ibunda Hajar bersama dengan Ismail yang kala itu masih bayi. Coba bayangkan andai kau seorang Hajar, ditinggal di tanah antah berantah tanpa ada orang, juga bekal yang sebentar lagi akan habis. Sanggupkah?
Setelah lama berdiam diri, akhirnya Ibunda Hajar bertanya kepada suaminya yang telah berjalan menjauh darinya.
"Apakah Tuan akan meninggalkan kami di sini?"
Nabi Ibrahim as menghentikan langkah, namun tidak ada jawaban yang keluar bahkan hingga Ibunda Hajar bertanya untuk kedua kalinya.
Melihat suaminya tak bersuara maka Ibunda Hajar paham benar apa yang terjadi, menjadi istri seorang Nabi Allah tentu berbeda dengan manusia lainnya. Maka beliau merubah kalimat pertanyaan kepada suaminya, "Allah kah yang perintahkan?"
"Iya, Allah Ta'ala yang perintahkan."
Maka dengan kelapangan hati yang luar biasa, Ibunda Hajar merelakan suaminya pergi. Sebelum itu beliau mengantar kepergian suaminya dengan kata-kata yang menentramkan hati, "Jika memang Allah yang perintahkan, maka Dia tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya."
Masya Allah, nangis deh bener denger kisah ini. Setegar dan sekuat itu Ibunda Hajar.
Maha Besar Allah yang tidak mungkin meninggalkan hamba-Nya, Ibunda Hajar menciptakan peradaban di tanah suci Mekah dengan air zam-zam yang mengalir di bawah kaki anaknya, Ismail.
Bertahun-tahun berlalu, Ismail telah dewasa dan pertemuan dengan ayahnya menghadirkan haru. Bukan cacian dan makian namun sambutan hangat penuh hormat dari Ismail untuk Nabi Ibrahim as. Ibunda Hajar telah berhasil menanamkan rasa cinta kasih yang berdasarkan iman kepada ananda tercinta, bahwa jika semua berlandaskan iman kepada Allah maka tak ada yang perlu diragukan, itulah yang menjadi dasar Ismail membenarkan dan menerima mimpi Nabi Ibrahim as untuk menyembelihnya.
Kesekian kalinya Allah Ta'ala menunjukkan cinta-Nya, Ismail yang terbaring diganti dengan seekor domba yang hingga kini menjadi syariat dilaksanakannya Idul Adha.
Jadi, beranikah kita mengatakan, "aku adalah ismail?"
Pedoman hidup yang telah tertulis sempurna dalam kitab suci Al-Quran selayaknya menjadi rujukan kita dalam menghadapi setiap masalah dalam kehidupan. Mari semangat belajar. Berusaha mencontoh teladan Ibunda Hajar untuk melahirkan ismail-ismail yang kelak berguna bagi agama, keluarga, bangsa dan negaranya.
Oh Allah, sungguh Engkau telah memberikan tauladan terbaik dari nabi-nabi pilihan.
Allahumma sholli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad kama shollaita 'ala Ibrahim wa 'ala ali Ibrahim, innaka hamidun majid. ... Ya Allah, berilah keberkahan kepada Muhammad dan kerabatnya karena engkau memberi keberkahan kepada Ibrahim dan kerabatnya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.
Posting Komentar
Posting Komentar