Akhirnyaaa.... aku menghembuskan napas lega beribu kali, menghapus mata yang mulai mengembun dan menggantinya segera dengan senyum bahagia di depan para tamu undangan. Setahun sejak aku meminta ibu meminang Nadia, kini kami sudah duduk bersanding bak raja dan ratu semalam, yah itu kata orang namun dalam hati aku telah berjanji untuk selalu menjadikannya Ratu seumur hidupku dalam istana rumah tangga kami. Niat itu semakin teguh kala dengan mata kepala sendiri aku melihat permaisuriku terbaring tak berdaya memperjuangkan jagoan kecil kami.
Melewati masa ngidam yang alhamdulillah tak ada kendala berarti, aku selalu menjadi suami siaga. Memijatnya lembut kala pegal sudah menjalari seluruh tubuhnya, bahkan tangisan yang kadang muncul saat ia teringat akan sesuatu yang tidak masuk akal, aku selalu pasang badan menenangkannya, mengingatkannya untuk selalu ingat kepada Allah Ta'ala dan mengabaikan segala mitos tentang ibu hamil.
Malam itu, Nadia merasakan kontraksi yang tidak biasa, kata ibu mertua sebaiknya aku membawanya ke klinik bersalin segera. Setelah diperiksa, perawat menyuruh kami untuk kembali pulang sebab masih lama menunggu bukaan sempurna, terlebih ini anak pertama. Ya, manut saja to aku. Sesampai di rumah, justru ibu mertua yang menanti dengan cemas memarahiku dan berujung kami kembali ke klinik bertiga, sebelumnya hanya aku dan istriku. Mereka menggunakan becak sedang aku mengikutinya dari belakang, kebetulan klinik tersebut tidak terlalu jauh dari rumah.
Bertemulah ibu mertua dengan perawat yang tadi menangani istriku, lalu mereka mulai berdebat dan akhirnya istriku diijinkan untuk rawat inap di klinik tersebut.
Kalian pasti bingung ya? Hhhee, jadi ketika aku sampai di rumah, ibuku langsung naik pitam (ya begitulah gambarannya, pokoknya aku baru pertama ini lihat raut wajah beliau merah padam seperti ingin mengumpat, tapi tidak mungkin, ibu mertua orangnya tidak pemarah) karena melihat putrinya yang sudah lemas tak berdaya dan mengeluarkan darah dari organ vitalnya. Hey, jangan dulu kalian salahkan aku, ya mana aku tahu, tadi kan perawat memintaku untuk pulang, ya walaupun selama perjalanan istriku tidak menyahut sedikitpun candaan-candaanku.
Sejak opname, istriku mulai tak berbicara, hanya isyarat lemah yang ia tunjukkan setiap menjawab pertanyaan. Naluri suamiku tumbuh, maka dengan lembut aku menyuapinya dengan potongan-potongan roti lembut sebab mulutnya hanya mau terbuka sedikit. Kalian tahu, jauh setelah proses melahirkan terlewati, istrinya meluapkan kekesalannya sebab aku tak memberinya minum, malah tak henti menyuapi, katanya tenggorokannya kering, namun tak ada daya untuk meminta. Duh, maaf yaa sayaang.
Malam itu istriku kembali kontraksi, baru kali ini aku melihat cahaya hilang dari wajahnya, takut segera menyerap seluruh energiku, namun sungguh aku ingin terus menggenggam tangannya melewati perjuangan ini, untung saja bidan mengijinkan aku untuk berada di samping istriku. Melihat peluh yang tak henti menetes, erangan yang sekuat tenaga ia keluarkan, perintah bidan semua menjadi satu membuat ruangan ini seolah menghimpitku, aku kehabisan napas, rasanya tak ada kekuatan untuk berdiri, namun cengkeraman istriku mengembalikan kesadaran.
Tangis bayi memenuhi udara, aku mengecup kening istriku, menunggunya membalas senyumku namun justru ia terpejam. Bidan memisahkan aku dengan istriku, dengan cepat ia meminta perawat menyiapkan mobil ambulan menuju rumah sakit, eh, ada apa?
Kembali aku limbung, bahkan ketika bidan mengajak bicara aku seperti tidak sadar, untung saja ibu mertua segera datang dan mengiyakan perkataan bidan, eh bidan bilang apa memang?
Tenang, istriku hanya kelelahan saja, ada sedikit tindakan medis yang harus segera dilakukan untuk memulihkan istriku, juga beberapa kantong darah yang harus segera ditranfusikan, klinik bersalin ini punya stok darah? hebat benar, atau sudah dipersiapkan? Ahh, nanti kutanya ibu mertua.
Ambulan yang diminta bidan justru disiapkan untuk anakku, ibu mertua ikut mengantar si kecil ke rumah sakit, sedang aku duduk di lantai koridor rumah sakit sementara istriku di ruangan entah.
Hhaa, ini kenapa seolah aku yang kehilangan akal sehat ya? Ibu mertua hanya menepuk pundakku lembut sembari berkata bahwa sebentar lagi ada keluarga yang datang, jangan khawatir.
Beberapa minggu setelah kejadian memalukan di klinik tersebut, aku selalu menjadi bahan olokan para saudara, berbagai macam candaan konyol ditujukan tanpa tedeng aling-aling, lalu tawa menggelegar memenuhi rumah kami, biasanya dan seterusnya aku hanya diam sembari tersenyum malu, yah memang memalukan sih, tapi coba saja nanti kalian rasakan sendiri bagaimana melewati pengalaman pertama istri melahirkan .
Berbeda hal dengan istriku yang selalu mengucap terima kasih karena mau menemaninya berjuang walau harus mengalahkan phobiaku sendiri dengan jarum, darah, dan bau obat. Ahh, jagoan kecilku sangat tampan, bahkan nanti ketika dia memiliki adik, aku akan melakukan hal yang sama. Semisal yang kedua aku masih mengulangi hal memalukan itu lagi ya mungkin akan menjadi biasa saja di kali ketiga, keempat, atau kelima, bisa saja kan?
Baiklah, kalian ingin membully-ku juga? Ahh, silahkan tapi lebih baik tolong aku untuk menyembuhkan phobia ini, hhee. Terima kasih ya sudah membaca yaaaah walaupun tak memberi semangat, hhaa, bercanda.
Salam untuk calon ayah di luar sana juga calon ibu hebat, dari kita semoga lahir generasi penerus bangsa yang luar biasa membanggakan dunia dan akhirat, aamiin.
Sebentar Kak. Ini cerpen atau pengalaman siapa nih? Hehe
BalasHapusPertanyaan yang sama hehe
HapusIni POV suami kayaknya
BalasHapus