“Bapak
ada di rumah?”
“Mau
apa?”
“Mau
tanya tentang kebenaran informasimu barusan.”
Matanya
menghujam tajam, napasnya menderu, angin mengorak-abrik rambut ikalnya ke
sembarang arah.
Kamu, kemana saja selama ini?
Siang
itu setelah menghadiri acara pernikahan teman sekelas, kamu mengantarku pulang.
Kenapa harus diantar pulang? Aku mulai tersenyum sepanjang perjalanan, menatapmu
yang melaju dengan kecepatan sedang. Dua puluh menit khayalanku membumbung ke
angkasa, semakin dekat jarak menuju rumah semakin tak terkendali debaran di
dada. Inikah saat itu? Inikah?
Berulang
kali aku menguatkan hati, menyiapkan jawaban terlembut agar tidak terlonjak
ketika pertanyaan itu terlontar darimu. Sulit menerima kenyataan bahwa saatnya
tiba juga. Yah, aku yakin seratus persen, apa lagi yang perlu diragukan? Dengan
baik kamu tahu bahwa pukul sepuluh malampun aku berani pulang melewati hamparan
sawah yang minim penerangan, sekarang, saat matahari bersinar garang? Ahh,
tubuhku semakin panas dingin.
Aku
terburu-buru memarkirkan sepeda motor, menghampirimu yang tersenyum di balik
balutan hitam jaket polos tanpa ada satu tulisanpun di sana.
“Mampir
dulu?”
“Aku
langsung aja yah.”
Cleeenggg…. Khayalanku ternyata
mimpi di siang bolong. Bangunan harapan setinggi langit itu merubuhiku
seketika. Bergetar, lunglai, tak berdaya.
“Bapak
nggak ada di rumah. Sana pulang.”
“Aku
ragu.”
“Ya
sudah kalau tidak percaya.”
“Kenapa
tidak memakai cincin kalau sudah bertunangan? Siapa nama calon suamimu? Kau berbohong.”
Aku
memejamkan mata, baru kali ini kamu berbicara dengan nada tinggi di hadapanku.
Kesempatanmu ada tiga tahun yang
lalu, sekarang aku tak berani lagi untuk berharap sekalipun kali ini mungkin
kau serius. Aku… aku… aku tak mau memberikan hati padamu. Tak mau lagi.
“Maaf
yah, aku kasar.”
Aku
mengangguk.
“Aku
pulang yah. Kamu istirahat, nanti aku telpon sampai rumah.”
Setelah
tubuhnya hilang dibalik tikungan aku segera menghapus nomor kontaknya, oh
tidak-tidak itu sama saja, badanku gemetar, lalu kuputuskan untuk mematikan
gawai dalam genggaman.
Sore
ini, kamu menyatakan hal yang aku impikan tiga tahun lalu, yang masih terus aku
pertahankan untuk tetap sabar menanti setiap harinya, hingga lemah tertatih
untuk memendam harap. Sayang sekali semua tak lagi sama, cintaku masih ada,
bersemayam di sudut hati yang khusus kusiapkan untukmu namun keyakinanku hilang
bersama waktu-waktu yang terbang.
Bersambung…
Posting Komentar
Posting Komentar