Entah kenapa hujan selalu menjadi latar perjumpaan kita, namun aku bersyukur akan hal itu.
Rintiknya mampu menyamarkan degup jantung yang berloncatan, tumbukan tetes air dengan benda padat lainnya bak melodi yang mengiringi setiap cerita kita.
Pun sore ini. Kamu hadir di hadapanku bersama senyum manis di wajah.
"Apa kabar?"
"Baik."
"Untukmu."
Aku menahan diri untuk tak berprasangka. Sebungkus bubur kacang hijau hangat akhirnya berpindah tangan. Menjalar sensasi yang tak terucapkan jauh di dalam dada, ada yang bergolak.
"Lagi apa di sini?"
Aku menoleh lalu buru-buru memalingkan wajah. Kesalahan fatal ketika masih teringat jelas rupa lelaki pemilik rahang kokoh itu.
"Hey, ada yang salah denganku?"
Hujan membuat kami berdua terperangkap di dalam warung angkringan yang belum buka. Jutaan air langit yang menghujam bumi merisaukanku akan detak yang masih sama seperti tiga tahun lalu. Semoga kamu tidak menyadari perubahan wajahku.
"Aku besok kembali merantau."
"Eh, cepat sekali."
Sungguh aku basa-basi ketika mengatakannya, sejujurnya kehadirannya kini menghancurkan dinding yang telah aku ciptakan dengan susah payah.
"Ada yang mau aku selesaikan."
Aku mengangguk, bagaimana bisa tiga tahun tanpa pertemuan nyatanya tak mampu meluruhkan rasa ini?
"Hhhaa... ngomong dong, dikira gila aku ngomong sendiri."
"Eh, maaf. Udah selesai urusannya?"
"Tergantung."
"Eh?"
"Urusanku adalah kamu."
Itulah saat di mana kurasa bumi berputar, aku takut sungguh takut dia mengungkit rasa yang berusaha aku kubur dalam.
"Boleh aku bertanya?"
"Silahkan."
"Tentang malam itu, apa kau merasakan sesuatu?"
Hujan semakin deras, beberapa mulai menerpa wajah. Kamu mulai membuka jaket namun aku menolak untuk menerima kebaikanmu lagi.
"Emm... ya."
Kamu tersenyum, ada binar di matamu. Sedang aku mulai gelisah.
"Tapi itu tiga tahun lalu," lanjutku sebelum kau mengatakan hal yang bisa menghentikan denyut nadiku.
"Sekarang?"
Aku tahu, ada harap yang terpancar. Namun tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk menata hati. Kilat menyambar, gemuruh guntur nyatanya tak banyak berpengaruh, ada hening di antara kita.
Aku menggeleng pelan, kukuatkan hati untuk melihat wajahnya.
"Sekarang, aku tak bisa mengembalikan rasa yang tiga tahun lalu kau abaikan."
Sunyi. Tak ada suara, kecuali hujan.
"Aku berdoa untuk kebaikanmu. Tak perlu menyesali apa pun, mungkin memang beginilah cara takdir bekerja."
Aku menembus hujan, membiarkan diri menggigil juga gigi gemeretak. Tak ada tangis. Hidupku tak boleh mundur, sebab di depan sana ada seseorang menungguku dan tak mungkin kupatahkan dia untuk yang kedua kalinya.
#RCOChallenge
#ODOP
Posting Komentar
Posting Komentar