Raut muka itu berubah pasi pun dengan sosok di sampingmu yang dengan cepat pergi tunggang langgang menjauhi gubuk di pinggir aliran sungai ini.
Aku masih terpaku, tidak percaya tepatnya.
Ada akar yang menghujam kuat di mana aku berpijak. Mataku menggenang, tak ada yang tertahan, apa yang ingin keluar sungguh aku ijinkan.
Siang ini kejadian itu berlalu cepat namun menjelang malam waktu melambat hingga enggan untuk beranjak.
Pagi sekali kau datang ke rumah, mengetuk pintu dengan serentetan kata yang hendak menjadi tameng sebuah kesalahpahaman.
Semua sudah jelas, tiada takut orang yang tidak bersalah. Terbiritnya ia membuatku bukan hanya menuduh bahwa ada sesuatu yang sudah kalian lakukan, tanpa sepengatuanku tentunya.
"Aku mundur," lirih dalam getar aku bersuara.
Cangkul yang tergenggam oleh tangan kananmu engkau letakkan bersiap untuk menepis kata-kataku.
"Baiklah, maafkan aku."
Tersenyum aku ada dalam getir.
"Ini tidak akan terulang."
Aku menggeleng, tak ada yang bisa memastikan terlebih ada kecewa yang menyesakkan.
"Aku melepaskanmu dari segala bentuk pengekangan."
Kini ia yang menggeleng, ke kanan ke kiri, lebih kuat.
Mungkin ia lupa akan janji-janji yang terucap untuk menemani hidupku, kelak.
Aku mengaku kalah, menjadi manusia lemah yang memperturutkan nafsu semata, terburu-buru menilai makna cinta, kita tidak boleh saling menyakiti terlebih sebelum ada ikatan yang dibenarkan agama. Bukan begini seharusnya.
Ohhh jadi mereka tuh blm menikah gitu ya kak cili???
BalasHapusAsyik juga bacanya
BalasHapus