Berita Orang Hilang

3 komentar
Aku hendak merantau dan banyak orang memberitahu tempat terbaik untuk mengejar jabatan, meniti karier atau jelasnya menimbun harta. Maka dari mereka sampailah aku di kota ini, siang saat matahari sedang terik-teriknya.
Bersandar pada sebuah pohon beringin yang berbatang besar membuatku tertidur untuk beberapa saat.
Tak lama aku terbangun sebab selembar kertas mengejutkanku. Ohh, berita orang hilang yang sudah lama. Pasti lemnya sudah tak rekat.
Melangkah kini melewati pematang sawah dengan gemericik air sungai, kanan kiri pemandangan tanaman padi yang mulai menguning menimbulkan rasa haru akan masa panen di depan mata.
Tunggu, suasana seperti ini tak ubah pedesaan dengan segala kesederhanaannya. Bukankah aku sedang merantau ke kota?
Maka segera aku bergegas untuk memasuki area pemukiman warga. Tak ada orang lalu lalang yang dapat ditanya, aku meneruskan langkah hingga di sebuah persimpangan terdapat warung es kelapa muda yang tengah ramai oleh pembeli. Bagus, aku bisa istirahat sembari bertanya tentang keganjilan ini.
Penjual tersenyum ramah menerimaku, menanyakan gula pasir atau gula merah untuk ditambahkan dalam minuman. “Gula merah,” jawabku singkat.
Lalu aku bergabung dengan para pengunjung yang tengah bersantai di gelaran karpet di pinggir jalan utama tak jauh dari persawahan.
“Apa nama daerah ini. Pak?”
“Desa Nrimo, Nak.”
Sendiri aku mencerna maksud dari penamaan desa ini, jika dilihat dari bahasa jawa Nrimo berarti menerima, pasrah atas ketentuan Yang di Atas.
Sungkan aku menanyakan kebenarannya, terlebih statusku sebagai pendatang.
“Oh ya pak, apa kabar anak kecil yang hilang itu, sekarang?” teringat aku akan selebaran yang membuatku terbangun.
“Oh, Budi? Dia belum ditemukan.”
Dahiku mengkerut, kukira itu sudah lama berlalu sebab kertasnya menguning dan tulisannya mengabur.
“Iya belum kembali sejak lima tahun lalu,” ujar seorang pemuda lain setelah menandaskan kelapa muda di gelasnya.
“Bagaimana dengan keluarganya?”
“Ya mau bagaimana lagi.”
“Kasihan.”
“Beginilah hidup anak muda, bukankah semua sudah di atur oleh Tuhan, terima saja.”
Sebentar, aku menangkap hal ganjil dari intonasi Bapak berkumis itu saat mengatakan pendapatnya.
“Maksud Bapak?”
“Ya, mungkin memang takdirnya Budi hilang dan tidak kembali.”
Sebenarnya pertanyaan ini ingin sekali aku simpan rapat-rapat, namun melihat gelagat tak ada perubahan raut wajah saat membicarakan Budi membuatku ingin memastikan sesuatu.
“Sudah pernah mencoba untuk dicari, Pak?”
Si Bapak menghela napas, aku masih berharap sesuatu yang akan ia ucapkan bukan sesuai prasangkaku.
“Usaha kami ya menempel selebaran itu. Jika Tuhan menakdirkan Budi kembali pasti akan kembali.”
Lemas sudah aku mendengarnya. Bukan seperti ini arti menerima.
Tak ada kata pamit, aku berdiri dan segera menjauh dari orang-orang yang meniadakan usaha, menghapus rasa peduli atas dasar takdir Illahi. Namun kakiku tersandung batu bata dan terjerembab.
Batu kerikil menimpa kepalaku, membuatku meringis dan mengusap tempat yang sedikit benjol itu. Seorang anak kecil tertawa terkikik dari seberang.
Aku terbangun dari mimpi yang menyeramkan.
“Paman, jangan memasuki kota ini, kembalilah.”

Aku tertegun. Anak kecil itu seperti aku pernah melihatnya, samar, siapa ia?

Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

3 komentar

Posting Komentar