Bersandar
pada sebuah pohon beringin yang berbatang besar membuatku tertidur
untuk beberapa saat.
Tak
lama aku terbangun sebab selembar kertas mengejutkanku. Ohh,
berita orang hilang yang sudah lama. Pasti lemnya sudah tak rekat.
Melangkah kini melewati pematang sawah dengan gemericik air sungai,
kanan kiri pemandangan tanaman padi yang mulai menguning menimbulkan
rasa haru akan masa panen di depan mata.
Tunggu, suasana seperti ini tak ubah pedesaan dengan segala
kesederhanaannya. Bukankah aku sedang merantau ke kota?
Maka segera aku bergegas untuk memasuki area pemukiman warga. Tak ada
orang lalu lalang yang dapat ditanya, aku meneruskan langkah hingga
di sebuah persimpangan terdapat warung es kelapa muda yang tengah
ramai oleh pembeli. Bagus, aku bisa istirahat sembari bertanya
tentang keganjilan ini.
Penjual tersenyum ramah menerimaku, menanyakan gula pasir atau gula
merah untuk ditambahkan dalam minuman. “Gula merah,” jawabku
singkat.
Lalu aku bergabung dengan para pengunjung yang tengah bersantai di
gelaran karpet di pinggir jalan utama tak jauh dari persawahan.
“Apa nama daerah ini. Pak?”
“Desa Nrimo, Nak.”
Sendiri aku mencerna maksud dari penamaan desa ini, jika dilihat dari
bahasa jawa Nrimo berarti menerima, pasrah atas ketentuan Yang
di Atas.
Sungkan aku menanyakan kebenarannya, terlebih statusku sebagai
pendatang.
“Oh ya pak, apa kabar anak kecil yang hilang itu, sekarang?”
teringat aku akan selebaran yang membuatku terbangun.
“Oh, Budi? Dia belum ditemukan.”
Dahiku mengkerut, kukira itu sudah lama berlalu sebab kertasnya
menguning dan tulisannya mengabur.
“Iya belum kembali sejak lima tahun lalu,” ujar seorang pemuda
lain setelah menandaskan kelapa muda di gelasnya.
“Bagaimana dengan keluarganya?”
“Ya mau bagaimana lagi.”
“Kasihan.”
“Beginilah hidup anak muda, bukankah semua sudah di atur oleh
Tuhan, terima saja.”
Sebentar, aku menangkap hal ganjil dari intonasi Bapak berkumis itu
saat mengatakan pendapatnya.
“Maksud Bapak?”
“Ya, mungkin memang takdirnya Budi hilang dan tidak kembali.”
Sebenarnya pertanyaan ini ingin sekali aku simpan rapat-rapat, namun
melihat gelagat tak ada perubahan raut wajah saat membicarakan Budi
membuatku ingin memastikan sesuatu.
“Sudah pernah mencoba untuk dicari, Pak?”
Si Bapak menghela napas, aku masih berharap sesuatu yang akan ia
ucapkan bukan sesuai prasangkaku.
“Usaha kami ya menempel selebaran itu. Jika Tuhan menakdirkan Budi
kembali pasti akan kembali.”
Lemas
sudah aku mendengarnya. Bukan seperti ini arti menerima.
Tak ada kata pamit, aku berdiri dan segera menjauh dari orang-orang
yang meniadakan usaha, menghapus rasa peduli atas dasar takdir
Illahi. Namun kakiku tersandung batu bata dan terjerembab.
Batu kerikil menimpa kepalaku, membuatku meringis dan mengusap tempat
yang sedikit benjol itu. Seorang anak kecil tertawa terkikik dari
seberang.
Aku terbangun dari mimpi yang menyeramkan.
“Paman, jangan memasuki kota ini, kembalilah.”
Aku tertegun. Anak kecil itu seperti aku pernah melihatnya, samar,
siapa ia?
Udah lama nggak baca tulisan Cili...
BalasHapusKeren dik..
Anak kecil itu Budi ?😉😞😞
BalasHapuswihhh budi jadi.....
BalasHapus