Semilir angin bulan agustus terasa menusuk, ada gigil juga gemeretuk gigi.
"Kenapa tidak datang?" tanya seorang pemuda yang duduk dengan memeluk lutut.
"Untuk menyaksikan kau akan pergi?" lirih suara yang menyimpan pedih meski berusaha sekeras mungkin untuk menutupi.
"Lihat lampion dari kami?" rupanya pemuda itu mencoba untuk mengubah suasana sendu meski terdengar ragu.
"Bagus."
Singkat saja. Ada yang tertahan namun tersangkut hingga tak mampu untuk terucap.
"Ada namamu di sana."
Sedikit kepala gadis sayu itu bergerak, urung untuk mencari tahu kebenaran perkataan lawan bicaranya.
"Tapi rupanya ia tak mau terbang."
"Suatu pertanda."
"Baik."
"Tidak. Jelas buruk."
Suara hewan malam mengambil alih keheningan. Gesekan dedaunan, bunyi kodok turut meramaikan malam yang rupanya melambat untuk beranjak.
"Hatiku tertinggal di sini. Tak mau ia pergi jauh meninggalkan desa ini."
"Aku tak mau terbang bersamamu."
"Kenapa?"
"Jas birumu."
Terjawab semua. Nyatanya pendidikan masih menjadi dinding penghalang.
Setiap perpisahan meninggalkan duka, sedalam apa pun luka yang tercipta semoga waktu turut serta untuk memulihkannya.
Pendar cahaya bulan mulai menghilang, langit tertutup awan. Hening. Suara hewan malam mendominasi, selain gesekan dedaunan dan bunyi kodok tak ada suara lain.
Keren
BalasHapus