"Heii... kau tidak bisa mengandalkanku terus," seruku sebal kepada pemuda bebal.
Dia terkekeh, "Niatku kan baik, mengajak orang yang kusayang agar harinya dijamin oleh Pemilik Semesta".
"Aku perempuan."
"Aku tahu."
"Lalu?"
"Ayo bergegas sebelum kau kehilangan banyak waktu."
Aku mendengus ketika hidungnya mengendus.
"Kau masak apa?"
"Tak ada."
"Bohong."
"Sudah habis untuk sahur, kau tak puasa?"
"Ini hari apa?"
"Senin."
Dia terkikik membuatku ingin mencekik.
"Aku tak hutang puasa, syawal telah aku tunaikan."
"Sana pergi sendiri salat subuhnya."
Wajahnya berubah membuatku jengah, "Sampai kapan kau mau merepotkan sepupumu ini heh?"
"Sampai kau tak berkhotbah di bingkai jendela, ayo berangkat nona galak."
Aku mengalah, pergi ke sumur, mengambil air wudhu. Sepupuku baru saja tiba dari kota yang ramai seminggu lalu, hening suasana desa membuatnya sedikit kaku jadilah aku pengawal yang harus membersamainya setiap subuh.
Ahh kadang aku berharap lelaki yang membangunkanku seperti dia. Suatu saat, kelak.
Posting Komentar
Posting Komentar