Bruggg...
Hening
malam membuat suara tubuhku yang berdebam terdengar jelas. Semoga
saja ini tidak memancing orang-orang untuk keluar rumah dan menuju
sumber suara. Semoga saja lelap tidur mereka hingga suara sekeras
apapun tidak mampu mengusik.
Ngilu
di tangan kiri terabaikan, ada sesuatu yang lebih penting untuk
dipikirkan, seseorang yang mungkin saja akan menyusul kepergianku.
Aku mencoba mencari jalan lain agar tak mudah untuk ditemukan. Namun
rasa gugup juga takut membuatku tidak benar-benar memperhatikan jalan
tikus yang licin penuh lumut.
Kerlip
bintang bertebaran di langit malam yang semakin kelam namun tidak
dengan semangatku yang justru menyala terang. Maka kecelakaan kecil
semacam ini tidak boleh menjadi penghalang. Harus bangkit dan kembali
bergegas dan melupakan rasa sakit.
“Kenapa
terburu-buru?”
Sebuah
tangan terulur untuk membantuku namun persendianku lumpuh seketika,
bahkan sekadar untuk mendongakpun tak ada daya. Suaranya mencoba
tenang dengan desah napas tertahan. Ia ada di sini, berhasil
menyusulku.
Sosok
itu berjongkok, telunjukkannya mengangkat daguku, sedikit memaksa
agar tatapan mata kami beradu namun aku memalingkan wajah ke arah
aliran sungai yang tersumbat banyak sampah. Bahkan itu lebih baik
daripada melihat dula bola hitam di matanya.
“Ayo
pulang.”
Genggaman
tangannya mencengkram pergelangan tangan kananku, semakin mengencang
seiring aku memberontak. Kini kedua tangannya berada di pundakku siap
mengangkat tubuhku yang jatuh terduduk. Aku menggeleng, lelehan air
mata membanjiri pipi, tatapan memohon coba aku hadirkan namun kini
giliran ia yang membuang muka.
“Mau
sampai kapan?”
Suaraku
tercekat, jelas itu hanya pertanyaan retorika. Sebab apapun yang coba
aku ungkapkan hasil akhirnya harus sama, kembali pulang menuju rumah
berdinding anyaman bambu dengan alas tanah yang bergelombang juga
atap yang siap diterbangkan angin jika ribut sedikit saja.
“Aku
tak akan pernah mengijinkanmu untuk melakukan ini,” ibu jari
kanannya menghapus warna merah menggoda yang tertempel di bibirku
lalu jemarinya merapikan anak rambut yang berhamburan menutupi wajah,
rok miniku yang tersobek, juga berbagai peralatan rias yang
menghambur dari dalam tas.
“Kamulah
kehormatanku, apapun alasanmu melakukan ini aku tidak ijinkan. Kita
pulang, biar aku yang berjuang.”
Semakin
dalam aku terisak, bagaimana bisa aku bertahan hidup dalam gubuk reot
dengan seorang pria bodoh yang penyayang ini? Berjuang? Hah,
bertahun-tahun ia terus saja mengatakan hal itu namun kenyataannya
tak sesuai. Cukup. Aku muak.
Baiklah
sekarang pulang, nanti akan aku pikirkan lagi cara untuk kabur dan
menjemput kehidupan yang aku impikan.
#TugasKelasFiksi4
Sabar ya mbak..🤗
BalasHapusKereen:)
BalasHapus7
BalasHapusAku sih kasih nilai 4+5*8/2π
BalasHapusKerennnn!!!! 😍😍😍
BalasHapus