Ayahku termasuk orang yang tak tergegas untuk meninggalkan masjid, maka tenang saja hatiku meski arah pulang melewati pemakaman desa. Bukan, bukan di situ masalah terbesarnya. Tapi dia.
Tubuh jangkungnya dibalut baju koko coklat tua, tangan kanannya mengenggam erat kitab suci yang juga bersampul coklat tua, tangan kirinya merangkul teman di sampingnya. Mau tidak mau aku mendengarkan sedikit percakapan mereka.
Demi mendengar suaranya hatiku bergetar tak menentu, sudah cukup hati melambung mendengar dia melantunkan ayat suci, mengimami kami shalat isya berjamaah dilanjut taraweh dan witir, kini, aku mendengar dia bercakap-cakap santai? Oh Tuhanku Yang Menggenggam Hati, aku bisa apa?
Perjalanan
kami tak panjang, keluar dari mushola kami melewati pemakaman desa
yang remang lalu dua ratus meter selanjutnya terdapat pertigaan yang
memisahkan dia dengan teman-temannya. Kembali aku memejamkan mata,
berpikir... berpikir...
Nah,
benar, dia yang kini berjalan sendiri mulai mencari teman untuk tiga
ratus meter melewati kebun tanpa penerangan.
Hatiku
berdesir merekam jejak patah-patah kepalanya menengok ke belakang.
Seeettt...
Aman...
aku berlindung di balik punggung ayah.
Belum
aman, dia bergabung bersama rombongan ayah, pak rt dan satu tetangga
lagi. Aku menahan napas yang memburu.
Tiga
ratus meter berlalu, akhirnya dia mengambil jalan yang berbeda
denganku. Memperlebar jarak dan membuatku mampu bernapas normal.
Sesuai
nama yang orangtuamu beri sungguh hadirmu laksana bintang yang
menerangi gelap malam dan aku satu dari sekian makhluk yang
terkungkung dalam malam pekat, menikmati siraman cahaya yang tak
henti berpijar dari sosokmu.
Hai
kamu, jika esok kita bertemu maka jangan sakit hati jika aku
menghilang dengan segera dari hadapmu, sungguh ada gemuruh yang tak
perlu semua tahu.
Sweet banget dik ci
BalasHapusSweet banget dik ci
BalasHapusEhem ... Ehem ... So sweet nih yee :)
BalasHapusUnchhh..
BalasHapusSuka mupeng denger cowo yg ngajinya bagus bett, yaAllah ujian -_-