Di sebelah kanan terdapat jendela kayu, aku melangkah untuk membukanya, maka segera sinar terang menyilaukan mata, memaksaku untuk menyipit agar mampu melihat apa yang berada di luar sana. Menakjubkan, tak ada hal semacam ini di dunia nyata setidaknya menurut logika manusia. Buru-buru aku menutupnya sebelum pusaran angin itu menggulungkan ke dalam sebuah petualangan tak terduga.
Setelah mataku normal aku kembali menapakkan langkah, kali ini berhenti masih di jendela kayu. Sama, cahaya terang membuat dahiku berkerut tapi kali ini sudah berjaga-jaga agar mataku tak terpapar langsung. Lebih lama aku di sini, tak perlu takut dengan sulur-sulur daun yang menjulur sebab terdapat teralis besi yang menahan mereka untuk menjamahku. Ini luar biasa.
Jendela berikutnya masih dengan teralis besi namun bukan terbuat dari kayu namun kaca, bahkan aku belum membukannya apa-apa yang berada di luar sudah terlihat jelas. Bunga-bunga yang bermekaran, kupu-kupu berterbangan memaksaku untuk membuka jendela, namun tanganku tak mampu menggapai, besi-besi yang melintang ini membatasi gerakanku. Aku termangu, untuk apa menikmati ini semua jika tak mampu menjamahnya?
Tak ada lagi semangat untuk meneruskan perjalanan, jendela-jendela yang tersisa mungkin saja akan berakhir sama hingga ada yang menarik, lelaki tua dengan jubah yang menyapu lantai tersenyum sembari tersedu di depan sebuah jendela kaca tanpa teralis.
"Maaf Pak Tua, bolehkan aku bergabung?"
Beliau tersenyum lalu akhirnya mengangguk.
"Apa yang sedang Pak Tua lakukan di sini?" aku membuka pembicaraan saat kami berdua tengah bersandar pada sisi jendela kaca tanpa teralis yang menghalangi. Semilir angin membelai lembut jenggot panjang putihnya.
"Aku telah menemukan jendelaku, Nak."
Tak ada suara, sengaja aku menahan diri untuk bertanya.
"Apa kau sudah mengelilingi semua jendela?"
Sebuah gelengan menjadi jawabanku.
"Dulu, masa mudaku telah habis untuk mengunjungi setiap jendela, menikmati setiap pemandangannya tanpa berpikir apa pun."
"Apa yang harus dipikirkan, Pak Tua?"
Mata teduhnya menatapku, mengkin mencoba menilai anak muda macam apa yang mengeluarkan pertanyaan semacam itu.
"Setiap kali kau mengunjungi jendela, nikmatilah... dan ketika meninggalkannya maka kau harus membawa sesuatu yang memenuhi ruang hatimu, menjadikanmu berbeda dari sebelumnya."
Tak ada suara, sedikitpun aku tak menangkap maksud Pak Tua.
Pak Tua terkekeh, menepuk pelan pundakku dan pergi, "Satu lagi anak muda..."
Suaranya menggema di ruangan kecil ini, "Perbedaan itu haruslah membuatmu lebih baik dari sebelumnya. Jika tidak, jangan pernah kembali ke jendela itu."
Ada penekanan saat kalimatnya berakhir, itu seperti sebuah perintah, namun tetap saja aku tak memahaminya. Sepeninggal Pak Tua aku memandang jauh ke luar jendela kaca tanpa teralis besi, tergoda untuk berlari di padang gurun, merasakan aura kota penakluk yang melegenda. Haru menyelinap saat kenangan tentang tentara islam yang hidup dan matinya tak jauh berbeda, membuat jumlah yang tak sebanding dengan lawan berhasil merebut Alexandria di bawah seorang perwira yang lihai tata bahasanya, tajam pedangnya, tinggi mimpi-mimpinya, panglima Amr bin Ash.
Derai airmata berjatuhan
Rindu ini tiada tertahan
Telah jelas sejarah mencatat
Sungguh islam sempurna, tiada cacat
Hey!...
BalasHapusGua juga suka nulis. Menurutku lebih sulit lagi jadi kritikus. Wkwkwk
BalasHapusMantap jiwa mbak 😄😄
BalasHapusSukaa tulisannya kak Cii
BalasHapus