"Masak nasi goreng enak nih."
Ahh, paham aku. Kalimat itu bukan sekadar ungkapan namun lebih kepada perintah.
"Pake bumbu cepat saji saja beli di warung, enak kok."
Aku tersenyum, tahu benar aku tak pandai meracik bumbu sendiri.
"Mas yang beli di warung ya?"
Dia mengangguk mantap, beberapa menit kemudian kembali dan mengatakan bahwa semua warung dekat rumah tutup. Yah, terpaksa deh coba-coba.
"Kepalaku pusing."
"Kenapa, Mas?"
"Hhee, dari pagi belum makan."
Aku kembali tersenyum, rasa sayangku yang berlebihan membuatku melakukan apa pun untuk mengeyangkan perut kosongnya.
"Cicipin, Mas."
"Kurang kecap."
Maka aku menambahkan sedikit kecap, mencampurnya lagi dan memintanya mencicipi ulang. Dua jempol dia hadirkan sebagai titah untuk mematikan kompor. Nasi goreng terhidang dua porsi, untukku dan untukknya.
Jangan tanya bagaimana rasanya, yang terpenting dia lahap menghabiskan bagiannya.
"Mbak Ani masakannya enak, jadi chef saja."
Aku tersenyum, anak lelaki berusia delapan tahun itu selalu memiliki ruang tersendiri semenjak dia dan adiknya dulu diasuh mama, meski sudah dua tahun ini tidak lagi.
"Udah ya Mbak aku pulang, nanti dicari ibu."
Hhiii... udah kenyang aja pulang, dasar.
Posting Komentar
Posting Komentar