Pantas jika pilihan pemuda tampan itu jatuh kepadanya, pantas saja. Semua setuju mereka serasi. Aku yang dulu menentang di baris depan kini luluh melihat gadis yang siap dipinangnya. Gadis itu tak hanya elok, namun ada suatu keindahan tersembunyi yang aku ingin mencapai garis itu, garis yang membuat jurang perbedaan hingga pemuda itu tak memperdulikan keberadaanku.
Kini, aku ikhlas menyimpan segala rasa yang membuncah. Menjahit luka-luka mengangga, menunggunya kering dan bersiap membuka hati untuk seseorang yang lain.
"Bagaimana?" tanyamu melalui pesan singkat saat kita masih di masjid kampus.
"Cantik."
"Hey, ayolah, dia bukan sekadar cantik kan?"
Aku mengiyakan, dalam hati. Sungguh berat bibir ini mengakui ada wanita yang lebih pantas berada di sampingmu selain aku.
"Temui aku langsung, bukan dengan pesan singkat seperti ini!"
Tak lama, pemuda pujaan hatiku itu berdiri di sampingku. Tersenyum manis sekali.
"Ya, ya, ya?"
Aku menarik nafas, "Upahnya?"
"Kukenalkan pasa Syamil, setuju?"
Aku menggeleng, aku tidak mau Syamil.
"Lalu kau mau apa?"
Aku mau kamu.
"Hey, jawab dong. Aku tidak bisa baca pikiran nih."
Senyum itu terpaksa aku hadirkan.
"Yes, punya keponakan baiknyaaaa."
Biar aku saja yang menyimpan rasa ini, susah merealisasikan mengingat kedekatan hubungan keluarga diantara kami.
"Jadi kapan mau bantu ngomong sama mama?"
"Maunya kapan?"
"Sekarang, yuk?"
Mataku melotot, sebesar itukah niatmu pada gadis manis itu?
"Hey, niat baik harus disegerakan, bukan?"
Aku mengangguk.
Gadis itu bukan hanya cantik, pandangannya yang teduh juga mulutnya yang indah melantukan ayat-ayat tanpa membuka lembaran kitab suci. Saat aku masih terbata ia sudah di luar kepala. Hai Nona, terima niat baik kakakku yah, jaga dia, tentang aku, semoga keikhlasan dihadirkan untuk menerima takdir kehidupan.
Aku kok sedih bacanya
BalasHapus