Segera
aku mencabut ponsel yang masih terhubung dengan stop kontak di sudut
kamar bersamaan itu muncul satu nama memenuhi layar, panggilan masuk.
“Assalamu'alaikum.”
“Walaikumussalam...
De, udah berangkat kerja?”
“Belum,
kenapa?”
“Mampir
rumahku ya, ambilin flashdisk buat bahan presentasi hari ini, hhee.”
Aku
menepuk dahi pelan, oh Tuhan, makhluk-Mu satu itu tidak hanya sukses
membuat jantungku berdegub tak teratur setiap melihat senyumnya namun
juga menggelengkan kepala tak habis pikir dengan sifat cerobohnya
yang teramat.
“De...”
“Iya
denger.”
“Jangan
ngebut yah, hati-hati.”
“Oke,
tungguin sambil berdoa mamah ada di rumah dan mau bukain pintu buat
aku.”
“Deeeee.....”
Aku
terkikik mendengar melas suaranya.
Dua
puluh tujuh kilometer, jarak rumahku dengan kampusnya. Aku melirik
sekilas jam yang melingkar di pergelangan tangan, terlambat itu
pasti, baiklah saatnya mengeluarkan jurus ijin telat kepada pak bos mendadak,
hhaa.
Untung
saja rumahnya satu arah menuju kampus sehingga tidak banyak waktu
terbuang. Mamahnya sedang memarut kelapa saat aku datang, senyum
lebarnya menentramkan, pantas saja dia gendut, mamahnya baik gitu,
hhii pagi-pagi udah masak.
“Loh,
pagi-pagi udah mampir?”
“Iya
Tante, mau ngambil barang yang ketinggalan.”
“Waduh,
Tante tidak tahu yang mana, pasti barangmu dipinjam lama dan nggak
dikembalikan yah? Dasar anak itu, nanti biar Tante yang marahin.”
Aku
tertawa tertahan dan mengangguk untuk menutupinya, hhaa... biar saja
dia dimarahi, sekali-sekali.
Akhirnya
flashdisk itu berada di tanganku, dengan kecepatan di atas rata-rata
aku membelah jalanan kota, kendaraan lalu lalang mendahului dari sisi
kanan namun lebih banyak aku yang meninggalkan puluhan kendaraan yang
melaju di bawah kecepatanku.
Sampai.
Wajah
lega itu menyambutku di tempat parkir, aku baru berencana untuk
menjahilinya namun kuurungkan, kasihan, pasti dia setengah mati
menunggu hadirku.
“Ngebut
yah?” tanyanya melirik jam tangan.
Aku
menggeleng.
“Bohong,
buktinya cepat banget sampe sininya.”
“Kalau
udah tahu kenyataannya kenapa pake tanya?”
“Memastikan.”
“Nih,”
Aku mengangsurkan flashdisk yang segera disambutnya dengan suka cita.
“Ahh,
kamu De, emang yang terbaik.”
“Upah?”
ujarku menjulurkan telapak tangan.
“Upahnya
nanti yah, aku penuhi satu keinginanmu.”
“Keinginanku
banyak, yang mana?”
“Ada
lah.. tunggu aku mewujudkannya dan kamu hanya bisa tersenyum tanpa
berkata-kata.”
“Dih
gombal, buru masuk sana.”
Dia
pamit, aku tak melepaskan pandangan sedetikpun hingga punggung itu
menghilang masuk ke dalam ruangan. Entah apa yang dia maksud dengan
mewujudkan keinginanku tapi di tempat ini aku memiliki sendiri
keinginanku tentangnya. Di dua puluh tujuh kilometer dari rumah, aku
ingin melihatnya segera menuntaskan kuliah, memandang sendiri senyum
itu dalam balutan toga lalu memberinya sesuatu yang mungkin akan
tenggelam dari banyak barang pemberian orang-orang tersayang
disekelilingnya.
Kamu...
semangat yah.
Dedek jangan ngebut
BalasHapusAsikkk... 😀😀
BalasHapusCie Cie..
BalasHapusCieehhhhh....hahhaa..
BalasHapus