Dalam
balutan masker yang menutup wajah aku masih saja tersipu. Dia
berjalan mendekatiku di tempat parkir dengan senyum itu, senyum yang membanggakan juga
memberitahukan betapa ia menghargai setiap proses yang aku lakukan
untuk meraih mimpi dan cita-cita.
Dilema,
menunggunya atau berlalu?
Aku
mengharapkan pertemuan tak terduga ini, pertemuan yang mengaburkan
keinginan terdalam hatiku untuk melihat garis lengkung yang teramat
kurindukan.
Mematung,
linglung, ahh bagaimana bisa aku tak tahu apa yang harus aku lakukan?
Ia semakin
dekat, jarak kami mungkin sekarang seratus meter, dan senyum itu
sudah terlihat jelas, mengaduk-aduk seluruh rasa dalam dada.
Detik
berlalu sekarang sudah lima puluh meter, kakiku gemetar, hatiku
berlonjak girang.
Hap.
Aku
tertawa, kenapa di langkah terakhir ia harus meloncat untuk berada
tepat di sampingku? Hancur sudah sikap dingin yang sejak tadi aku
pertahankan. Senyumnya semakin melebar. Aku siap mendengar ucapannya
kini.
“Hai
penulis.”
Mulutku
ternganga, apa, kalian dengar tadi, ia menyapaku dengan sebutan
penulis. Wajahku menunduk menahan malu.
“Hey...
hey... kapan kau akan menulis tentangku?”
Pertanyaan
ini yang selalu ia lontarkan setiap bertemu denganku, biasanya aku
tak punya jawaban tapi kini sepertinya aku sudah punya.
“Nanti
yah.”
“Serius?”
“Iya.”
“Nanti
kapan?”
“Nanti
jika setiap pagi kau mau membuatkan aku kopi saat bangun
tidur.”
Ia
mengernyit mencoba memahami kata-kataku, “Maksudmu aku jadi
penyeduh kopi di rumahmu?”
Aku
tergelak, duh bagaimana bisa ia tidak paham maksudku.
“Bukan
itu saja, kau juga harus mencuci bajuku, memasak untukku,
membersihkan rumah...”
Demi
melihat ekspresi wajahnya yang kian tak menentu aku menggantungkan
kalimat.
“Mahal
sekali hanya untuk satu cerita yang kau tuliskan untukku,” lirih ia
bergumam sendiri, aku tersenyum, gemas rasanya melihat perubahan
wajahnya.
“Belum
selesai, ada lagi.”
Matanya
terbuka lebar, “Ada lagi?”
“Iya, kau
juga harus merawat anak.”
“Anak?
Anak siapa?”
“Anak
kita.”
Aku
terkejut jika akhirnya aku sendiri berani mengatakan itu, raut
mukanya mencoba menyambungkan setiap kalimatku, lalu tiba-tiba ada
warna merah di sekitar pipinya, membuatku mual menunggu jawaban jika
ia akhirnya mengerti.
“Hai
penulis....”
Bagus,
sekarang ia yang menggantungkan kalimatnya. Aku diam menunggu.
Hening,
heii... lanjutkan kalimatmu.
Ia masih
diam. Baik, ia mempermainkanku.
“Apa?”
“Apanya?”
“Kau tadi
memanggilku kan?”
“Iya, kan
hanya memanggil.”
“Aaaarggggg.....
Benar kau hanya memanggil?”
“Tidak
sih.”
“Lalu?”
“Hei
penulis, bisakah kau sedikit puitis menyampaikan sesuatu kepada
pujaan hati?”
Senyumku
mengembang, ke depan akan lebih mudah sebab ia sepenuhnya tahu maksud
hatiku. Sementara cukup, itu yang terpenting.
Sukaaa
BalasHapusRimantis.. De, kok hitam to...
BalasHapus