Baca cerita awalnya di sini
Tetesan air
langit satu per satu menghujam bumi, memberikan kesegaran di subuh
yang sunyi. Hujan, ahh, aku tak akan pernah mampu untuk melupakannya.
Sore itu
menjelang magrib, di tengah hujan deras, meski menggunakan jas hujan,
kau kuyup.
“Kok
basah semua, Mas?”
“Iya,
hehe.”
Hanya
itu, setelah mengangsurkan rantang berisi masakan ibumu kau bergegas
pulang.
“Aku
takut sekali saat itu,” ungkapmu saat kita mengenang pertemuan
pertama setelah akad kau ucapkan.
“Takut
kenapa?”
“Takut
jika hujan tak kunjung reda hingga menahanku lama untuk bertamu yang
bisa jadi akan memunculkan hal yang tidak seharusnya.”
Aku
menunduk, malu. Terima kasih ya, sudah menjagaku sejak dulu.
“Lalu,
saat itu sepertinya kau juga terburu-buru mengusirku,” lanjutmu.
Gelengan
lembut juga senyuman hangat aku tunjukkan, “Bukan seperti itu.”
“Oh,
apa kau takut jika aku jatuh sakit?” ucapmu menggoda.
“Bukan,”
buru-buru aku menyela.
“Lalu?”
“Aku
tak cukup kuat melihat rambutmu yang berantakan terkena air hujan.
Hatiku jadi kacau,” jawabku dengan wajah memerah menahan malu yang
teramat sangat.
Saat
itulah kau mengerti bahwa hal yang kau sengaja agar tak berlama-lama
bertamu adalah awal muncul rasa berdesir dalam hatiku.
Tiga puluh menit berlalu, aku tutup kitab suci yang telah memberikan
ketenangan jiwa. Menyimpannya di rak buku paling atas lalu merapikan
mukena.
Ahh,
tadi lelakiku tidak membawa payung, mungkin berteduh di masjid.
Aku menuju dapur hendak menjarang air saat langkah kaki
setengah berlari terdengar mendekati pintu, itu, kau datang. Siap
dengan handuk di tangan buru-buru aku menyapamu di pintu. Hatiku
masih sama kacau seperti dulu melihat rambutmu berantakan oleh air
hujan.
“De, pinjem gawaimu.”
“Mau ganti baju dulu?”
“Enggak basah kok, cuma gerimis tadi,” jawabmu sambil
mengeringkan rambut.
Segera aku menuju kamar mengambil apa yang lelakiku minta kemudian
duduk manis di sampingnya.
Jempol tangannya lihai membentuk pola aku mengunci gawai, lalu menuju
satu per satu sosial media, mengamati dengan jeli setiap percapakan.
Hatiku mengatakan inilah mungkin penyebabnya.
“Mas, cari apa?”
“Kamu punya teman namanya Asrul?”
Aku menggeleng cepat, seingatku tidak ada.
“Ingat lagi.”
Aku mencoba membuka memori tentang teman-teman sekolah, teman
komunitas, teman kenalan tapi tak ada satupun yang bernama Asrul.
“Ada apa, Mas?”
“Coba ingat dulu.”
Ia sibuk menggeledah semua isi gawaiku, aku tidak khawatir, memang
tak ada yang perlu disembunyikan. Tapi, ada apa dengan nama tersebut?
Mencoba lebih keras lagi mengingat nama tersebut.
“Aku nyerah, aku nggak punya teman dengan nama Asrul,” ujarku
kemudian.
Ia tak menggubrisku.
“Mas... ada apa?”
Setelah tangannya aku sentuh, ia berhenti. Memandang wajahku,
meneliti kejujuran ucapanku dari sorot mata. Aku balik menatapnya
degan yakin, percayalah, aku berkata jujur.
Hayo lohh siapa tuh si asrul, kalo astor aku tau kak ci
BalasHapusecieee ciee.. hehe
BalasHapusAsyiik...nyimak
BalasHapusAsyiik...nyimak
BalasHapusbagus sharing ceritanya mbak. Keep Hamasah
BalasHapus