Aku menyembul saat paru-paru meminta jatah oksigen lebih, mengagumi lebat pepohonan yang menahan agar sinar mentari tak menembus tempat ini. Akar-akar beringin menghujam kokoh bumi, menjaga pasokan air agar tetap mengalir.
Bersandar tubuhku pada dinding, setengah badanku masih di telan air. Pantulan cahaya mempermainkan mata tentang garis-garis keramik di dasar kolam. Menari seirama padahal diam saja. Terengah-engah rakus aku mengambil udara di sekitar, lalu kembali menyelam.
Duniaku sempit, kanan kiri selalu bertabrakan dengan gelembung udara. Jarak pandangku tak ada satu meter, aku bergerak lurus sesuai keyakinan. Air tanpa permisi mengetuk lubang hidungku, memaksaku untuk menghentikan semuanya, aku terbatuk-batuk.
Tempat ini istimewa, mungkin hanya empat kali sepuluh meter persegi dengan kedalaman satu meter. Menjadi pelarian saat dunia acuh terhadap hadirku. Siapa yang mau datang?
Dulunya ibu-ibu setiap pagi kemari untuk memandikan anaknya sebelum berangkat sekolah, namun kini setiap rumah memiliki kamar mandi dengan akses air yang melimpah. Siang menjadi tempat anak-anak berlomba terjun hingga raga lelah atau bibir membiru kedinginan, tak ada lagi sekarang, mereka sibuk dengan benda ajaib dalam genggaman.
Tidak demikian denganku, aku masih setia ke sini, menuruni dua puluh anak tangga setelah sebelumnya melewati pemakaman dimana tubuh nenek tersimpan dalam bungkusan kafan di dalamnya. Kanan kiri pohon beringin yang semakin tua menyambut dengan menerbangkan satu dua daunnya yang menguning. Sampai.
Kalian akan temukan kolam ini menunggu dengan pantulan cahaya putih di sisi kanan, jika perjalanan di lanjutkan maka persis di samping kolam itu terdapat tempat tertutup tanpa pintu dengan dua pancuran air yang tidak akan pernah habis airnya. Dipakai atau dibiarkan, airnya tidak akan berhenti pun ketika kemarau
Lebih jauh lagi, ada sungai dengan aliran air deras. Suaranya menenangkan, tidak ada bebatuan di sana namun kalian aman, sungai itu tidak pernah dengan tiba-tiba mengirimkan air dengan volume berlebih, sungai itu baik, karena tidak ada sampah yang membuatnya marah.
Aku kembali menyelam meski telingaku semakin sakit, dihantam kekuatan air di kedalaman.
Lelah membuatku terduduk di bawah pancuran air bumi, menikmati setiap tetes air yang terjaga. Mataku memandang beringin tua yang kokoh, daunnya melambai diterbangkan angin.
Adakah yang mau datang?
Tempat ini seperti cermin diriku, saat dunia tak peduli hadirku maka sebaiknya aku pergi, menjauh dari mereka, mancari tempat yang membuatku berarti.
Di sini, di bawah air dengan berjuta gelembung udara.
Ade lagi nyelam ? ikuuuut
BalasHapusSuka....detail ...
BalasHapusSuka....detail ...
BalasHapus