Mawar
kecil tak begitu peduli saat tembok bata setinggi dua meter di bangun
di belakang rumahnya. Ia asyik saja bermain di gundukan pasir yang
serupa bukit, mengamati pekerja yang lalu lalang dengan ember berisi
adukan semen, gerobak penuh batu bata juga sekop yang berbuntuk lucu,
seperti sendok namun yang ini lebih besar bentuknya.
Ketika
tembok selesai di bangun, Mawar kecil juga belum mengerti,
yang ia tahu ayahnya harus mengambil air dengan jalan memutar
menggunakan kedua ember, masing-masing ditangan kanan dan kirinya. Ia
asyik saja melewati jalan memutar jika nenek mengajaknya mandi.
Berlari riang di jalanan kampung, lebih sering bertemu dengan para
tetangga, menyenangkan sekali.
Saat
seragamnya berubah menjadi putih biru, perlahan ia jelas memandang
arti dari tembok dua meter itu. Tentang ayah yang setiap saat harus
mengangkut ember berisi air, tentang nenek yang mengangkut
panci-panci besar untuk di cuci.
Ada
penyekat antara rumah kami dengan sumber air.
Mawar
yang mulai beranjak dewasa tak banyak tahu apa yang terjadi, ayah tak
banyak bercerita, nenek bungkam dengan penyakit liver yang mengambil
seluruh cerianya.
Ia
mulai membantu ayah mengangkut air dalam ember, berat? Itu pasti
namun sebuah kepastian pula bahwa air adalah kebutuhan pokok mereka.
Jarak
sejauh dua ratus lima puluh meter yang harus ditempuh
sungguh-sungguh menyiksa, terlebih kau harus bolak-balik melakukan
hal itu. Rasanya sempurna bahagia saat tandon-tandon dalam rumah
penuh terisi air namun lelah menjalar di awal saat tandon itu kosong
tanpa sisa.
Ada hal
yang membuat segalanya tidak mudah. Air-air yang harus diangkut hanya
memiliki satu jalur. Melewati seratus meter jalan tengah kampung
berbelok dan sisanya harus sedikit berlari, jalanan itu di depan
rumah yang sekaligus jalanan utama. Banyak orang yang berlalu lalang,
malu jika teman-teman sekolah melihat.
Pernah
suatu ketika di rumah ada tamu, tidak bisa menunggu mereka
pulang, jadi air harus diangkut menembus kebun tetangga dan
dinaikkan melalui jendela setinggi satu setengah meter. Apa pun asal
kebutuhan air terpenuhi.
Ibu
akhirnya memutuskan untuk bergabung bersama membawa serta kakak
sulung Mawar juga adik bungsunya, bersatu setelah terpisah beda kota, itu setelah nenek menyerah melawan
penyakitnya, Tuhan mengajaknya kembali pulang.
Tak banyak
berubah, bertahun-tahun tetap mengangkut air, buru-buru setelah
tikungan, menghindari kepergok oleh teman (ini bisa disiasati, dengan
mengisi tandon saat siang hari, ketika teman-teman menikmati tidur
siang). Jadi jangan tanya betapa legamnya Mawar saat itu, tapi itu
banyak membantu batinnya dari kekhawatiran cemoohan teman-teman yang
tidak terbukti, tak ada yang mengejeknya, teman-teman Mawar baik
semua.
Mawar yang
sudah remaja perlahan mulai bertanya ada apa, ayah tetap diam, ibu
menggeleng, beliau tidak tahu duduk persoalan karena memang ayah tak
banyak mengungkit soal itu. Perlahan semua pertanyaan terjawab, rumah
yang mereka tempati adalah rumah sengketa. Ayah menolak pindah, ibu
menurut pada ayah, dan baru disadari Mawar beserta keluarga tidak
pernah bertegur sapa dengan tetangga sebelah mereka, Pak Lurah,
Kepala desa mereka, juga keluarga mereka.
Itu
menjawab mengapa kamar mandi tidak diijinkan untuk di bangun dalam
rumah, sumber air di tutup dan segala kebungkaman ini.
Mawar bisa
apa? Ia tidak banyak melakukan hal-hal berarti, baginya bersatu
dengan ibu juga adik dan kakaknya memberikan energi luar biasa untuk
menghadapi ini semua.
Seragam
Mawar sudah berganti dengan putih abu-abu ketika eyang kakung,
sebutan untuk Pak Lurah desa meninggal akibat penyakit yang sama
dengan yang nenek derita.
Tubuhnya
yang dulu pendek, legam juga rambut terbakar matahari sedikit berubah
meski ritual pengambilan air tetap berjalan, Mawar mulai tak peduli
jika Wawan-teman satu kelas yang tinggal di desa sebelah mendapatinya
melakukan hal itu sore hari, Mawar akan tersenyum dan mengangguk menjawab sapaan.
Mawar tidak bisa lagi melakukannya siang hari, ia telah menyibukkan
diri dengan banyak ekstrakulikuler dengan konsekuensi seperti ini.
Wawan teman
yang baik, ia tak pernah menceritakan apa pun mengenai Mawar kepada
teman-teman sekelas. Diam-diam Mawar berterima kasih untuk itu.
Ibu
memutuskan untuk berdamai, meski ayah masih diam, beliau tak ingin
mewarisi permusuhan kepada keturunannya, sengketa ini tak boleh
memutuskan tali silaturahmi kepada anak-anak yang sebenarnya tak
paham apa yang terjadi. Ayah diam saja saat ibu mengajak untuk
sungkem dengan eyang putri
saat lebaran. Mawar dan anak ibu ikut semua, menurut pada ibu.
Waktu
berjalan dan entah bagaimana ayah membuat saluran air menuju rumah
kami, Mawar tak tahu sudahkan ayah meminta ijin untuk melewati kebun
eyang atau belum, yang pasti Mawar tidak perlu lagi mengangkut ember
dan menahan malu saat berpapasan dengan teman-temannya.
Lihat,
Mawar kini tak lagi legam, tubuhnya tinggi menjulang, menarik Mbak
Yuyun untuk mengajaknya bergabung menjagi pramugari sebuah maskapai.
Mawar menolak, alasannya jelas, tumbuh rasa malu dengan keadaan
keluarganya. Seluruh desa tahu sengketa itu, sengketa tak berujung
yang entah kapan akan selesai. Kedua belah pihak menolak untuk
berunding. Mungkin dulu sudah pernah dan gagal sehingga tak ada niat
untuk mencoba kembali.
Mawar
hanya tersenyum getir saat senior pecinta alam membanggakannya di
depan adik tingkat,
“Nih,
kakak tingkat kalian meskipun tubuhnya kurus namun dengan tas carierr berisi muatan penuh, ia dapat berdiri di puncak gunung.”
Dulu,
mendaki gunung belum menjadi viral seperti saat ini. Mendaki gunung
belum dipandang sebagai kegiatan yang menyenangkan sebaliknya
menyeramkan karena melintasi hutan, mendaki jalur terjal juga
berita-berita mengerikan laiinya yang membuat orang tua bergidik.
Semua
mata memandang pada satu titik, Mawar.
“Kenapa?
Karena ia memiliki tekad untuk mengalahkan egonya, berjuang hingga
tujuan akhir tercapai.”
Kalian
tidak tahu, aku melakukan pemanasan setiap pagi dan petang, menjaga
pasokan air dalam rumah. Tentang fisik kuat, kalian tahu dari mana.
Mental kuat? Sudah terbentuk saat hatiku berdamai dengan keadaan.
--------
Ditulis terburu-buru, berlomba dengan rasa sesak yang menjalar. Berdamai dengan keadaan ternyata tak banyak membantu saat kenangan itu harus kembali diingat.
Entah kenapa rasanya campur adik baca cerita ini..😢😢😢😢
BalasHapusbulukudukku terus meremang saat baca ini, tak ada satu katapun yang terlewat. Terimakasih sekali atas ceritanya, Mawar.... huwaaaa... Mba Wiwid.. pinjemmm bahuuunyaa... :((
BalasHapusKerreennn
BalasHapusapa ini kisah nyata mbak?
BalasHapus