Rahman tak menyangka bahwa istrinya benar-benar meminum obat yang ia sendiri menolaknya. Sekarang ia menuju ruangan dimana yakin istrinya berada setelah menghilang dari kamar dengan mata penuh genangan. Selengkapnya di sini .
***
Ruangan ini cukup luas, berada di samping dapur dan dekat dengan taman belakang rumah. Tempat baju-baju di jemur jika hujan turun sekaligus tempat menyetrika setiap pakaian. Ada tali panjang sebanyak tiga buah yang melintang dari ujung barat ke timur, tempat mengaitkan hanger, lalu palang besi yang biasanya sangat berguna jika musim hujan tak segera mengeringkan pakaian.
Di pojok ruangan terdapat meja setinggi sau meter yang digunakan sebagai alas menyetrika, dilengkapi dengan botol pengharum dan pelicin pakaian di ujung meja. Saat ini kabel setrika berada sempurna di tengah meja, sedang tidak digunakan.
Di tengah ruangan terdapat baju-baju yang rapi tertata, di pisah berdasarkan fungsinya, kaos untuk santai, jilbab, baju tidur, dan lainnya sedang untuk baju formal tergantung rapi di dalam lemari merapat di dinding.
Rahman tersenyum penuh syukur, istrinya sedang melipat pakaian dan bersandar di tembok. Sedikit rasa salut sebab pekerjaan rumah selalu rapi diselesaikan terlebih saat dirinya tengah butuh perhatian ekstra.
Perlahan ia mendekat, duduk di samping istrinya, menyeka peluh di dahi dan menarik napas teratur.
Hening. Tak ada yang memulai percakapan.
"Apa kau baik-baik saja?," Rahman membuka suara.
Istrinya diam, tak menoleh sedikitpun, tetap melanjutkan melipat kaos yang baru saja kering, warna merah yang kemarin baru dipakainya.
"Kau itu seperti anak kecil, tidak lucu, keterlaluan."
Rahman hanya bermaksud mengatakan bahwa hal yang dilakukan istrinya seharusnya tidak terjadi.
Istrinya masih diam.
"Lihat, obat itu tidak bekerja bukan?"
Tak ada sahutan.
"Kenapa tak sedikitpun kau percaya bahwa para tenaga medis itu hanya melakukan bisnis semata."
Sebenarnya rasa canggung melingkupi Rahman namun ia cukup lega melihat istrinya baik-baik saja, kemudian ia memutuskan untuk kembali ke kamar, menutup mata sejenak sebab pening kembali hadir membuat dunianya berputar.
"Istirahatlah, baju sebanyak ini tak perlu kau selesaikan sekarang juga."
Rahman beranjak, menopang tubuhnya dengan berpegangan pada lemari pakaian. Belum sempurna ia berdiri, tubuh istrinya telah rubuh ke sisi kiri, matanya terpejam dan tangannya masih menggenggam baju merah yang selesai dilipat.
Pening yang dirasakan Rahman menguap seketika, ia tak butuh pegangan lagi, tubuhnya kembali ke lantai, tangannya sibuk memindahkan tubuh istrinya agar dapat berada dalam pangkuannya.
"Dek... Dek... kenapa?"
Sama. Pertanyaan yang kesekian, tak ada jawaban.
Kali ini ia benar-benar takut, bingung, tak tahu harus berbuat apa. Tangannya lembut membelai pipi istrinya, memanggil berulang namanya, berusaha menyadarkannya.
Dua puluh detik yang sia-sia.
Susah payah ia membenarkan posisi istrinya di atas karpet, tak mungkin menggendongnya lebih jauh, ia tak memiliki tenaga. Sisa tenaganya ia gunakan untuk melesat mencari ponsel, menekan tombol tertentu dan sekali lagi, menjambak rambut-rambutnya menunggu seseorang di seberang sama menjawab panggilan.
Bersambung...
Penasaran de.. Meluncur ke bab sebelumnya dl nih..
BalasHapusNext
BalasHapus