Ayah.
Manusia paling disiplin dalam hidupku, tidak ada toleransi terhadap pelanggaran apapun. Aturan harus berdiri tegak, tidak pandang bulu siapa pun pelakunya, ini yang namanya keadilan. Tidak bisa ditawar.
"Ibu, kenapa ayah tidak jadi hakim saja?" tanyaku dulu saat aku terlambat pulang dari main yang lupa waktu, akibatnya tidak bisa berangkat ke mushola untuk mengaji.
"Ayah memilih untuk menjadi guru, Nak," jawab ibu yang baru saja mengantar segelas air putih.
Aku dihukum untuk membaca keras-keras iqra 5 halaman dua sebanyak tiga kali lalu menyalinnya ke dalam buku bergaris.
"Guru itu tugasnya mengajar bukan menghukum," protesku lirih, ibu tersenyum, ayah ada di ruang tamu sedang mengoreksi ujian siswanya.
"Selesaikan dulu nanti kautanyakan langsung pada ayah, setuju?"
"Tenggorokanku sudah sakit, Bu."
Ibu kembali tersenyum, entah kenapa jika melihat beliau tersenyum seperti aku tak perlu mengkhawatirkan apa pun. Ada ibu, hhii. Orang yang selalu menenangkanku saat ayah mulai menghukumku.
"Besok ingat waktu ya Nak kalau main."
Dulu aku selalu berfikir bahwa ibu cari aman sebab tak pernah naik banding saat ayah mengeluarkan sebuah keputusan, membersamaiku dalam hukuman namun tak pernah sedikitpun membantu. Kini saat usiaku semakin dewasa aku mulai mengerti bahwa aturan yang ditegakkan ayah sudah dibahas sebelumnya dengan ibu. Ini cara mereka mendidikku.
Berkali-kali aku menerima hukuman dari ayah berkali-kali pula aku belajar apa-apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan, termasuk berada di luar sekolah saat bel masuk kelas akan segera berbunyi. Sekarang meski aku tahu akan mendapat hukuman dari ayah yang kesekian hatiku bukan sakit namun malu, sungguh tak ingin ayah berfikir bahwa cara mendidiknya salah.
Kami tiba di ruang guru, ayah berdiri di sana, tanpa senyuman, aku menunduk.
Gilang menjawab setiap pertanyaan ayah dengan berani, aku tidak heran. Orang yang berani berbohong di awal perkenalan kami, menjerumuskanku dalam masalah dan sekarang mau berlagak sok pahlawan dengan membelaku? Itu tidak berarti apa-apa.
Dia pikir siapa dirinya? Biarku tegaskan bahwa aku sudah tidak percaya lagi dengan segala apa yang akan kauperbuat.
Membersihkan toilet siswa adalah hukuman yang ayah berikan. Biasanya akan ada korelasi antara pelanggaran dengan hukumannya namun aku tak menangkap untuk yang satu ini. Nanti di rumah pasti akan aku tanyakan.
"Sudah Cili, aku saja deh yang bersihkan."
Makhluk perusuh itu berisik sekali. Apa dia belum juga sadar bahwa karena dirinyalah kami ada di sini? Jika ingin minta maaf cukup dengan tidak mengulangi perbuatannya yang sering merugikan itu.
Susah juga mengabaikan orang yang sejak tadi tak mau diam, padahal aku tidak sekalipun meresponnya.
"Terbayang kalau Pak Herman di rumah pasti galaknya luarbiasa. Aku sih nggak mau jadi anaknya. Pasti diajarin matematika terus tiap hari sembari dimarahin."
Baiklah ini sudah keterlaluan. Aku tidak terima, ayah bukan galak beliau hanya menegakkan kedisiplinan. Lagian beruntung juga bukan kau yang jadi anak beliau. Tunggu, berarti Gilang belum tahu kalau aku anaknya Pak Herman? pantas saja dia berani macam-macam terhadapku.
Bau menyengat toilet membuatku menarik napas pendek untuk sedikit bersuara, mungkin ini akan membungkam segala tingkah tak bermutu orang yang mengaku sebagai ketua kelas itu.
"Aku anaknya Pak Herman."
Anaknya Pak Herman ? hahaha
BalasHapusHahaha....pasti diralat, kalau mau jadi Anak pak Herman
BalasHapusAa Gil anaknya Pak Herman kah?????
BalasHapusCili yang anaknya pak herman her...
BalasHapus