“Dania...
apa menurutmu semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua?”
Di ufuk
barat bola besar dengan sinar yang tak lagi menyengat
perlahan tenggelam dalam debur ombak.
“Iya,”
jawabku singkat.
“Sebesar
apapun kesalahan di masa lalunya?”
“Aku
berfikir itulah kenapa kita masih dibangunkan setiap pagi.”
Kami berdua
terdiam, membiarkan air pantai menjilati telapak kaki. Pantai Parangtritis tidak begitu ramai di hari senin, jika senja menyapa
maka pengunjung akan segera menepi, membersihkan diri dan
beristirahat namun berbeda jika akhir pekan pantai ini akan hidup
hingga minggu selesai. Penikmat senja berjejalan menikmati matahari
ditelan laut selatan lalu kembali muncul untuk memberi tanda bahwa kehidupan masih berlanjut.
Jejak-jejak
kaki kami menghilang tersapu ombak, semakin gelap semakin ombak
bergulung hebat. Di pantai ini sebenarnya dilarang untuk berenang,
tapi kini, keberadaan Nyi Roro Kidul bukan lagi hal yang mampu
membungkam keegoisan manusia modern, lebih dari itu pantai selatan
terdiri dari palung-jurang yang berada di dasar laut- seharusnya sudah cukup
menjadi pengingat diri.
Aku
menggenggam erat tangan lelakiku, aku tahu dia tak kan melakukannya.
Entah bagaimana bisa aku bertahan dengan seseorang yang
mengkhianatiku sejak pernikahan kami belum genap memasuki usia tiga
bulan.
Pandangannya
menerawang jauh ke tengah laut, membayangkan seseorang disana
tersenyum dan melambai, sedikit gerakan kaki untuk menuju kesana
namun aku menolak mengijinkannya, “Mulai pasang, Sayang.”
Perkataanku
diabaikan, kekuatan laki-laki berparas menawan itu tak mampu kulawan,
ia berjalan ke tengah laut dan meninggalkanku sendiri di tepi pantai.
De javu. Inikah balasan
perbuatanku setahun yang lalu?
*
“Halo.
Siapa ini?”
“Halo
Dania, aku Eka.”
“Hai Eka,
sedang menikmati pemandangan Lembang?”
“Berhentilah
berbicara dan dengarkan aku.”
Aku
tersentak, wanita yang menjadi sekretaris lelakiku di kantor tidak
pernah membentakku, “Ada apa?”
“Maaf,
apa kau memulai pernikahan dengan baik-baik saja?”
“Tunggu,
lancang sekali bicaramu.”
“Maafkan
aku jika harus memintamu berangkat sekarang juga ke Pantai
Parangtritis.”
“Ada
apa?”
“Akan
kujelaskan di sini.”
“Bukankah
kau di Bandung?”
“Kemarilah
sebelum kaumenyesalinya.”
Beku, Eka menopang tubuhku yang limbung. Di tengah keramaian
pengunjung pantai kulihat lelakiku bersama seorang
wanita, mereka bahagia, berlarian dan saling menenggelamkan
diri di air asin, muncul lalu berpelukan. Tertawa seolah pantai ini
sengaja diciptakan untuk mereka memadu kasih.
“Siapa?”
“Kamelia,
mantan kekasihnya.”
Eka
menuntunku menjauh, kurutuki diri yang tak mampu berbuat apa pun,
bukan, aku tak mau mempermalukan lelakiku di depan banyak orang tapi
tentang wanita itu lain cerita, otakku sedang menyusun rencana untuk
membuatnya membayar mahal atas semua ini.
Mataku
memanas melihat mereka berdua menuju pantai, berpegangan tangan dan
berhenti di depan kamar mandi. Wanita itu menggelayut manja di tangan lelakiku, hei kauharam melakukan itu, jeritku
dalam hati, membisikkan sesuatu-sangat dekat- di telinga dan
tersenyum mengantarkan lelakiku pergi meninggalkannya.
Bergegas
aku menghampirinya, berlagak antri.
“Maaf
Nona, anda turis ya?”
Wanita
itu ramah menanggapiku, aku muak melihatnya, “Ahh, anda berlebihan.
Rambut pirang ini tidak asli, aku khusus mewarnainya agar kekasihku
tertarik.”
“Tunggu,
lelaki tadi kekasih anda?”
Mata
bulat wanita itu mengerjap, terkejut akan intonasiku yang tiba-tiba
meninggi, “Ada apa?”
“Kulihat
ia berenang menuju tengah laut, oh Nona kau harus memberitahunya
bahwa laut mulai pasang.”
“Benarkah?
Aku memintanya untuk mengambilkan baju bukan untuk berenang, kau
bercanda ya?”
“Sudahlah,
saya hanya memperingatkan,” aku berlalu meninggalkan wanita yang
sesaat ragu kemudian berlari menabraki apapun yang menghalangi
jalannya.
Teriakan-teriakan
pengunjung mengantarnya sampai ke tengah laut, hingga laut selatan
menunjukkan kuasanya, sekejap ia menghilang bersama ombak yang
bergulung. Tim sar setempat mulai disibukkan atas ulahnya, namun
hingga tengah malam tak ada tanda-tanda tubuhnya di temukan.
*
Jika memang
ini karma maka aku menolak, masing-masing dari kami merasakan
perih atas perselingkuhan itu dan jika di akhir aku yang harus
menanggung semua bebannya maka lebih baik aku mati.
Segenap
kekuatan yang tersisa aku menyusul lelakiku, menghentikannya saat
berhasil menyentuhnya. Ombak bergulung di depan kami, semburat jingga
menyilaukan, aku menyerah.
“Kaumau
apa?” tanyaku
Ia
memandangiku namun tak bersuara.
“Ayo
kembali,”ajakku namun ia tak memutar arah.
“Tunggu
disini, biar aku yang berjalan ke tengah sana, kaumau aku ambilkan
apa?” parau suaraku membuatnya berbalik.
Di tempat
yang sama aku melihatnya perlahan mendekati bibir pantai, tubuhku
sendiri sudah dihantam ombak hingga dada. Aku menggigil, menangis,
pasrah, jika memang lelakiku hanya menginginkan wanita itu maka tidak
ada alasan bagiku untuk tetap hidup. Aku memejamkan mata, sebentar
lagi mungkin wanita itu akan tertawa mencibirku karena ia yang
menang, toh nyatanya hidup kami berakhir sama. Tidak aku yang lebih
mengenaskan, wanita itu mendapatkan cinta lelakiku sedang aku tidak
sedikitpun.
Satu
hempasan ombak menenggelamkanku, selamat tinggal lelakiku.
Uhuuuk...
uhukk...
Kurasakan pening luar biasa, dadaku di sesaki air yang sekarang
sedang berusaha aku muntahkan, perlahan mataku terbuka.
Lelakiku berlinang air mata sedang mendekapku, tak henti menciumiku
saat mengetahui aku telah sadar. Dari balik tubuh kekarnya aku
melihat matahari sempurna tenggelam.
“Jangan pergi, aku mencintaimu,” katanya serak.
Kalimat
inikah yang selama ini aku nantikan?
Pada
petang yang perlahan meluruhkan jingga
Sederhana...
suaramu adalah penawarnya
end
Baper end
BalasHapusKeren end
Merinding, mba. Super banget dah.
BalasHapusI like it. 😍
Keren banget 😃😃😀
BalasHapusWow bangeeettt.... Cerita nya. Sukaaa...
BalasHapusuh... kerennn cah ayuu..
BalasHapusCskeeeeep de
BalasHapus