Baca puzzle sebelumnya di sini
Sudah sering aku mendengar ayah bercerita tentang sekolah dimana beliau mengabdi tapi baru sekarang benar-benar melihat sendiri dan menjadi bagian di dalamnya
"Titip Ciani ya Pak Dito," ujar ayah kepada guru yang katanya akan menjadi wali kelasku.
"Tenang saja Pak, Ciani sepertinya murid penurut."
Aku tersenyum, ahh pasti beliau hanya sungkan terhadap ayah.
Sejak nenek meninggal tak ada lagi alasan tetap tinggal di Solo jadi aku menerima tawaran ayah pindah ke Bandung. Keluarga kecil kami utuh setelah enam tahun aku bersama nenek yang sebatang kara.
Entah kenapa nenek memilihku untuk menemani masa tuanya tak lama setelah kakek meninggal, dari informasi tetangga yang beredar mereka hanya bilang kalau aku cucu kesayangan nenek, hhee jadi malu. Ayah dan ibu meski berat hati menginjinkan, jadi mereka sering bolak-balik Bandung-Solo hanya untuk bertemu dan memastikan aku baik-baik saja.
Langkah kaki mengayun perlahan mengikuti Pak Dito menuju deretan ruang kelas, ya memang benar ayahku guru di sini tapi itu tak membantu sedikitpun akan degup jantung juga rasa dingin yang tiba-tiba menjalar ke ujung jari-jari. Selain ayah semua terasa asing.
Suasana kelas yang riuh mendadak hening saat Pak Dito melangkah masuk, ingin rasanya terus menunduk tapi ini bukan permulaan yang baik bagi siswa baru jadi semoga senyum yang dipaksakan tidak membuat aneh raut wajahku.
Aku memperkenalkan diri setelah Pak Dito mempersilahkan, dan kalian tahu belum juga aku sempurna mengatur napas seorang murid laki-laki mengacungkan jarinya, pertanda tidak baik menghampiri dan firasatku benar adanya.
Baiklah, abaikan saja sebutan yang ia sematkan untukku, maaf ya aku di sini untuk belajar bukan cari musuh.
***
Nantikan kelanjutan cerita pada puzzle berikutnya...
Lanjutannya udah beres hihi
BalasHapus