Baca puzzle sebelumnya di sini
Tak
terdengar lagi bising kendaraan yang lalu lalang di jalan aspal depan
rumah, aktivitas warga desa seperti berhenti total. Saatnya makhluk
nocturnal mengambil kuasa.
Hampir
tengah malam saat aku berjalan menuju kamar nenek, di dalam ada
bulek-sebutan untuk adik kandung orang tuaku juga ayah dan ibu di aamping tubuh nenek yang semakin lemah. Mereka sedang berbicara
dengan suara pelan. Aku tak mendengarnya.
“Ibu...,”
seruku lirih.
Semua
perhatian beralih padaku.
“Aku
ingin tidur berdua dengan nenek malam ini.”
Bulek
menghentikan pijatannya pada kaki nenek, ayah dan ibu terdiam.
“Ijinkan
aku.”
Mereka
berdiri bersamaan, meninggalkan kamar nenek satu persatu, bulek
mengusap kepalaku yang kemudian diikuti oleh ayah dan ibu. Aku
bergeming.
Nenek
tidak tidur di atas dipan, beliau tidur di atas kasur yang di
bawahnya dilapisi karpet agar dingin lantai tidak membuatnya
menggigil. Ini agar mudah baginya jika hendak ke kamar mandi, begitu
kata ibu saat kutanya mengapa.
Seingatku
sudah sebulan ini nenek hanya di atas kasur saja, tidak kemana-mana,
segala aktivitas dilakukan di atas kasur. Itu sejak dokter dimana
dulu nenek pernah dirawat angkat tangan terhadap penyakit beliau.
Aku
merebahkan tubuhku di samping nenek, mengamati seksama tubuh orang
paling bijak yang kini tengah terpejam, napasnya berat dan
pendek-pendek. Entah apa yang mendorongku untuk tidak terlelap, aku
ingin malam ini menjaga nenek namun akhirnya aku tertidur dan sayup
suara adzan subuh mengejutkanku. Harusnya aku tidak ketiduran.
Lega
menjalar saat kulihat dadanya masih naik turun meski matanya tetap
terpejam. Dalam sujud terakhir kulangitkan doa untuk nenek. Tidak
tahu lagi mana yang terbaik untuk nenek, yang pasti terbaring seperti
ini jelas sangat tersiksa.
Tuhan,
kiranya Engkau hapuskan dosa-dosa nenek dengan penyakitnya.
Fajar mulai menyingsing saat aku menyadari ada yang berbeda
dari nenek. Matanya terpejam namun tak ada suara napas berat yang
selalu terdengar. Tangannya masih hangat saat aku memegangnya namun
telapak kakinya sudah dingin.
Tak boleh ada air mata, kubisikkan perlahan kalimat tahlil pada
telinga beliau, ketika tangannya dingin aku membelai lembut wajahnya
dan berhenti saat wajah beliau juga terasa dingin dan pucat.
Inikah
yang terbaik untuk nenekku?
Gontai aku keluar dari kamar nenek, bagaimana aku akan mengabarkan
pada semua?
Bulek adalah orang pertama yang aku temui. Beliau membawa baskom
berisi air hangat yang rencananya akan digunakan untuk membersihkan
tubuh nenek. Dibelakangnya Om Burhan-suami bulek menyusul, sepertinya
bulek lupa membawa handuk.
Tanpa kata aku mengambil baskom dari bulek.
“Buat sibing nenek, De.”
Aku memaksanya hingga bulek menyerahkan, mungkin dia masih berpikir
bahwa aku yang akan melakukannya.
Tapi kecurigaan muncul saat aku tak berbalik ke kamar nenek.
“Airnya mau dibawa kemana, De?”
Aku membisu. Bagaimana ini?
“De..,” kali ini Om Burhan menegaskan pertanyaan bulek.
“Nenek butuh lebih banyak air untuk mandi.”
Segalanya lalu berjalan cepat, bulek berlari ke kamar nenek, sedetik
kemudian Om Burhan memaksa bulek keluar dari kamar, kulihat bulek
menjerit dan meronta.
Ayah mencengkram erat pundak ibu. Ibu adalah putri sulung nenek dan
mungkin ayah berharap bahwa seharusnya ia lebih kuat menghadapi
kenyataan ini. Ibu terduduk di kursi, perlahan aliran air membasahi
wajahnya. Ayah menuntunku untuk mendekati ibu lalu berbisik, “Ayah
percayakan ibu kepadamu.”
Tak ada sahutan dariku, erat kugenggam kedua tangan ibu saat ayah
pergi ke luar rumah. Tak lama para tetangga sibuk menenangkan ibu dan
bulek. Aku hanya diam.
***
Nantikan kelanjutan cerita pada puzzle berikutnya...
Neneeeeeeek ðŸ˜
BalasHapusHiks...:(
BalasHapus