Mereka
adalah pengantin baru di wilayah ini, asal mereka dari pedalaman Jawa
Timur namun suami memenangkan proyek rusunawa di ibu kota hingga
mereka pindah.
Setiap malam suami harus menahan lapar sebab
istrinya tak pandai memasak. Nasi memang selalu tersedia sebab apa
susahnya menekan tombol “Cooker” dan tiga puluh menit kemudian
beras telah siap untuk disantap, beberapa kali memang kurang pulen,
bisa jadi kurang air tapi
seiring waktu si istri dapat dengan baik menakar kebutuhan air untuk
menanak.
Tahu,
tempe dan telur menjadi menu wajib sarapan dan makan malam,
itupun hanya digoreng yang
diberi bawang putih juga garam secukupnya, sesekali irisan daun
bawang menjadi hal baru dalam hidangan telur dadar.
Rupanya
si suami sudah cukup sabar, wanita yang menyandang status istrinya
kini bukanlah orang yang diharapkan untuk hidup bersama. Wanita itu
pilihan ibunya, anak teman bisnis sawah ayahnya. Tak ada bantahan,
rumah tangganya dibangun tanpa dasar cinta.
Malam
ini si suami pulang dengan bungkusan hitam di tangannya. Ia makan
dengan lahap nasi padang yang dibeli dekat gang tak jauh dari
rumahnya. Lahap makannya sesekali melirik istrinya yang tetap
tersenyum meski sayur sop dengan suwiran ayam
terhidang di atas meja tidak
disentuhnya.
Pindah
ke ibu kota adalah impian besarku sebagai anak kampung. Memenangkan
proyek pembangunan rusunawa menjadi kebanggaan yang luar biasa, tapi
kebahagiaanku tidak sempurna sebab sebelum pindah aku dipaksa untuk
menikahi anak gadis dari teman bisnis sawah ayah. Tak boleh ada
penolakan, aku pun menerima meski tak ada rasa cinta.
Cinta
dapat tumbuh seiring berjalannya waktu, begitu ibuku berujar namun
tak ada hal yang bisa mewujudkan itu semua. Wanita itu bahkan tak
bisa memasak, saat letih mendera setelah seharian dibawah sengat
mentari aku masih harus menahan lapar karena tak ada yang bisa dimakan selain nasi putih olahan Rice Cooker.
Aku bosan melahap tahu, tempe atau telor setiap harinya. Ingin
rasanya makan sayur, oh istriku tidak bisakah engkau memasakkan itu
untukku?
Muak, malam ini aku menolak untuk kelaparan. Pulang kerja aku mampir
ke warung padang dekat rumah membeli sebungkus nasi lengkap dengan
sayuran hijau juga rendang dengan bumbu memikat. Tak perduli dengan
wanita itu. Kalau engkau lapar maka masaklah, gerutuku.
Aku baru saja lulus sekolah menengah atas saat tiba-tiba ayah
memaksaku untuk menikah dengan lelaki pilihannya. Penolakan awal
berujung pada tamparan di pipi maka ibu dengan berurai air mata
memaksaku untuk menuruti segala perintah ayah dan kini aku bersama
suamiku tinggal di ibu kota sebab ia memenangkan proyek pembangunan
rusunawa.
Dapur adalah hal asing sebab tak pernah sekalipun ibu mengijinkanku
untuk menyentuhnya, ada bibi, begitu ujarnya berulang kali. Wajar
jika kini aku keteteran setiap kali memasak.
Jaringan internet menampilkan beragam menu lengkap dengan cara
pengolahannya, aku mencoba.
Suamiku memaklumi untuk hasil masakan yang terhidang setiap harinya.
Tahu, tempe dan telur tetap ia makan meski hanya beberapa sendok yang
masuk ke dalam perutnya, sisanya? Aku yang akan menghabiskan.
Tak selamanya menurut pada cara penyajian menghasilkan rasa yang
sesuai, beras dengan beragam jenisnya nyatanya juga berdampak pada
banyaknya takaran air yang digunakan. Pernah suatu ketika beras yang
kubeli tidak seperti biasanya namun takaran air sama dengan saran
penyajian pada buku panduan, alhasil nasi yang tercipta sedikit
keras. Maka aku beralih menggunakan cara tradisional yang tidak
mengukur air menggunakan gelas takaran namun dengan garis jari
telunjuk dan itu berhasil.
Hari ini aku memasak sayur sop dengan suwiran ayam. Jelas ini
bukan pertama kalinya namun menjadi yang pertama terhidang di atas
meja makan. Sebelum-sebelumnya aku tetap memasak sayur berkuah,
berusaha menghadirkan makanan sehat seimbang untuk mengimbangi kerja
keras suamiku yang seharian bergelut dengan panas juga debu.
Namun sayang, hasilnya jauh dari kata menyenangkan. Makaroni sangat
lembek, terasa hambar, wortel masih keras adalah beberapa contoh
kegagalanku. Sayur itu aku simpan dalam mangkok untuk aku makan
sendiri meski dengan mengernyitkan dahi, tak mungkin tega aku
membuang makanan mengingat bagaimana suamiku bekerja keras untuk itu.
Bisa jadi rasanya kurang mantap, tidak seperti yang ibu atau bibi
buat di rumah tapi ini layak untuk di makan. Aku tak sabar menanti
suamiku pulang dan makan malam bersama. Ingin rasanya mendengar
komentarnya untuk masakan awalku ini.
Jangan perdulikan hatiku, meski sembilu mengirisnya aku tidak akan
menitikkan air mata. Senyum adalah hal wajib yang harus aku lakukan
setiap bertemu dengan suamiku.
Laparku menguap, mati rasa sudah, tapi aku masih bisa tersenyum
melihat suamiku lahap menikmati nasi padang yang ia beli pulang
kerja.
Lalu, aku masak untuk siapa?
Ada rasa bersalah di hati si suami saat melihat makanan lengkap
terhidang di atas meja. Kali ini tidak ada tahu, tempe ataupun telur
dadar. Istrinya telah masak sop ayam juga perkedel tak lupa sambal
yang diulek kasar melengkapi.
“Kau sudah makan?” tanya suami
Si istri mengangguk masih dalam senyum yang dipaksakan, semua tahu ia
berbohong kecuali suaminya.
“Besok masaklah seperti ini lagi, aku akan makan bersamamu.”
Si suami memegang lembut tangan istrinya dengan penuh penyesalan
dalam dada. Si istri reflek menarik tangannya, bukan ia marah
tapi suami telah memegang tepat dimana ada luka bakar yang sore tadi
tercipta, saat ia menggoreng perkedel untuk makan malam suaminya.
:(
perihhhh niannn...
BalasHapusMelaaas
BalasHapus