“Ogah
dih, capek Kak. Naik bus aja”
Aku
menghela napas, anak sulung dari bulek memang keras kepala. Sekali
bilang tidak ya tidak selamanya.
“Cuaca
sedang tak menentu, Kak. Kasihan jika nanti kau harus kehujanan”
Bisa
saja ia memberi alasan, tinjuku mendarat tepat di atas lengan atasnya
yang tak banyak tumpukan lemak, tampang meringisnya hanya pura-pura,
paham benar aku.
Jadi
disinilah sekarang kami berada, duduk di kursi paling depan dekat
dengan pintu masuk keluar sebuah bus
AC ekonomi yang melaju kencang jurusan Jogja Surabaya.
“Nah,
kalau naik bus kan aku bisa tidur,” ujarnya sembari mencari posisi
ternyaman untuk tiga jam ke depan.
Lirikanku
tertangkap matanya, ia hanya tersenyum menampakkan deretan gigi
putih. Aku juga mencari
posisi bersiap untuk tidur.
Duugg..
dugg.. aduh kepalaku terantuk
jendela kaca bus.
“Senderkan
saja kepalamu pada pundakku, dari pada benjol”
Aku
menggeleng.
“Ayolah
Kak, aku sudah berbaik hati menjagamu, jangan sampai budhe memarahiku
nanti jika melihat putrinya benjol”
Kembali
terlelap, mengabaikan ocehannya yang tiada henti. Ahh, bukankah tadi
ia yang pamit duluan untuk tidur? Kenapa berisik sekali. Beberapa
saat aku tak sadarkan diri, terbuai dalam mimpi, hingga rasa pusing
melemparkanku hingga terjaga.
Kepalaku
sudah bersender pada pundak Tama, ia juga terlelap.
Hueek...
Aku membekap mulut, Ya Tuhan jangan sekarang kumohon. Tama terbangun,
menegakkan badannya lalu memperhatikanku, “Kenapa Kak?”
Aku menggelang, kembali menutup mata, melupakan rasa mual yang
menggoda.
“Jangan bilang Kakak hamil”
Kepala besarnya harus menerima tinju dari kepalan tangan mungilku,
rambut gondrongnya berayun ke kanan dan ke kiri. Setelah mengusap
lembut bekas tinjuku tatapannya menyelidik, “Katakan Kak, siapa
ayah calon ponakanku?”
Ingin rasanya aku membekap mulut kurang ajar itu, namun sepertinya
lebih baik aku menahan rasa mual yang teramat sangat ini. Keringat
dingin mulai membasahi dahiku. Kupaksakan diri untuk tidur, tidak
bisa. Tama mulai panik, tidak tahu apa yang mesti ia lakukan. Hah..
anak yang setahun lalu masih menggunakan seragam putih abu-abu ini
memang kebanyakan tingkah.
“Kak, minum?” ia menyodorkan air mineral yang hanya kubalas
dengan gelengan kepala. Tubuhku lemas, pusing masih mendera.
Slayer yang dibebatkan pada pergelangan tangan Tama aku ambil dengan
paksa, menggunakannya untuk menutup mulutku. Berpaling
membelakanginya dan mencoba untuk terlelap.
“Kak..,”
Harusnya Tama paham dengan arti pelototan mataku bahwa aku tidak mau
diganggu.
“Baiklah... baiklah...”
Sepuluh menit sebelum sampai di Pasar Ngale, aku terbangun. Rasanya
sudah lebih baik meskipun rasa pusing masih tersisa. Tama melirikku
namun tak berani berkomentar.
Kami keluar dari bus, lega sekali menghirup udara bebas. Terhuyung
aku melangkah mencari tempat duduk, Tama mengikuti. Ia duduk
disampingku masih mengamati namun tak berani mengatakan apa pun.
Lucu sekali tampang lelaki yang sering kali sok berlagak dewasa di hadapanku
ini.
“Kau kenapa?”
Tama tersenyum, mungkin pertanyaanku ini menjadi pembuka dari segudang
pertanyaan yang ingin ia sampaikan.
“Kak, kau benar hamil?”
Ia telah menghindar sebelum tinjuku mengenainya untuk yang kedua
kali.
“Haahaaa, doakan saja kakakmu ini selalu dilindungi Yang Maha Esa,
agar terhindar dari hal-hal yang tidak seharusnya terjadi”
“Tapi tadi di dalam bus? Mual, pusing, ingin muntah? Seingatku itu
gelaja hamil loh Kak, jangan coba membohongiku”
Kali ini bukan ejekan, dari kedua bola mata yang kecoklatan tersirat
rasa khawatir yang mendalam.
“Sakit maag akut juga seperti itu gejalanya”
“Cukup Kak, kau tak perlu malu. Biar aku bantu untuk mengatakan
pada budhe nanti”
Kujitak kepalanya, ia mengaduh.
“Makannya, jangan hanya nonton drama saja kau itu”
“Kakak kan tidak punya riwayat penyakit maag, tidak mungkin
tiba-tiba langsung akut”
Ahh, ia pengingat yang baik. Tangan kiri Tama mengepal, sorot
matanya memancarkan kesungguhan. Baiklah sebelum ia berprasangka yang
tidak-tidak.
“Hei, bocah. Itulah kenapa aku memintamu untuk mengendarai sepeda
motor saja. Gejala yang terjadi dalam bus adalah tanda aku mengalami
mabuk perjalanan sebab tidak kuat dengan adanya gerakan berulang
kendaraan”
“Apa bedanya dengan naik sepeda motor?”
“Dengan sepeda motor aku masih bisa menghirup udara bebas, tidak
terperangkap dalam kotak seukuran bus saja”
“Tapi Kak dengan banyaknya udara bebas, kau bisa saja masuk angin
loh”
“Itulah gunanya aku mengajakmu, kau yang di depan, jadilah tameng
agar angin tidak langsung menerpa keras tubuhku”
“Hei... hei... kau menumbalkanku?”
Tawa renyah memenuhi langit Ngawi, aku tahu aku mabuk darat, tapi
lupa untuk menelan obat yang bisa membantuku terlelap cepat di dalam
bus, beginilah jadinya, merepotkan dan menimbulkan prasangka yang
tidak-tidak.
“Kak?”
“Hemm...”
“Jika ada lelaki yang macam-macam denganmu, katakan saja padaku
biar kuberi pelajaran”
Ahhh, mulai lagi sok dewasa dia.
“Nih, kukembalikan slayermu”
“Dih jorok, cuci dulu, setrika yang wangi baru dikembalikan”
Dengan cepat aku menangkap tangan kanannya, menalikan slayer pada
pergelangan dan berlari menjauh meninggalkan Tama yang berteriak
disepanjang jalan dimana hanya ada tanaman padi hijau yang terhampar.
Asikk, mau dong di ajak ke tengah sawah
BalasHapus