Kepalaku pening tiada tertahankan, rasa enggan untuk bangun dan berangkat kerja memaksa untuk tetap terpejam namun bisikan hati akan apa yang tidak bisa kulakukan di rumah mengusik rasa malas. Menyebalkan. Di rumah aku tak leluasa berbaring, di kantor tak fokus bekerja. Aku ini kenapa? Jengah mungkin. Entahlah.
Keputusan terakhir adalah keluar dari rumah, tidak berarti
aku menuju kantor. Tubuhku ringan seperti kaki tak menapak tanah. Mengendarai sepeda
motor menuju bukit yang berjarak dua jam dengan kecepatan sedang di lereng
merbabu. Konon kata orang disana banyak peri penolong yang bisa membantumu apa
saja. Benarkah? Mari kita buktikan.
Seratus menit aku telah sampai, dua puluh menit lebih awal
dari perkiraan. Baiklah, aku meningkatkan kecepatan karena jalanan memang
lengang di pagi ini. Tak ada siapa-siapa disini selain hawa pegunungan yang
menusuk hingga tulang. Melayangkan pandangan ke segala penjuru hanya terlihat
tumbuhan hijau yang mendominasi. Pohon-pohon besar dengan dahan-dahan kokoh,
ilalang tinggi, rumput liar bak permadani yang terhampar. Hening. Bahkan kicau
burung pun tak terdengar.
Aku duduk bersandar pada salah satu pohon yang rimbun, merasakan
semilir angin yang membelai rambutku. Ahh
enaknya jadi lelaki, tak ada ketakutan akan sebuah tempat yang sepi. Tapi,
dimana peri yang sering diceritakan orang-orang itu?
Sial. Aku tertipu. Ayolah ini dunia nyata, bagaimana bisa
aku dibodohi oleh cerita dongeng seperti itu?
Tak lama aku terlelap, buaian alam menjadi pengantar tidur
terampuh menjelang siang terik. Hanya beberapa menit kemudian terbangun sebab
sesuatu menimbulkan suara dari semak-semak.
Hantu? Mulai lagi. Mana ada hantu keluar dari semak-semak di
siang bolong seperti ini? Mungkin hewan, berpikir positif sajalah.
Bukan. Seorang wanita. Caping menutupi kepalanya dari
sengatan matahari, seluruh tubuhnya dibalut kain panjang, ahh mungkin
menghindari tergores oleh ilalang yang tajam. Ia keluar dan terkejut
mendapatiku sedang memperhatikannya. Ada tawa kecil saat aku menyadari ia bingung
hendak berlari atau menyapaku yang tertegun tak berkedip.
“Hei, kamu ini orang atau peri?”
Senyum hadir di wajah bulat itu, “Masak iya peri pakai jubah
sih?”
Aku tersentak, “Entahlah, aku belum pernah bertemu peri
sebelumnya”
“Ada perlu apa kemari?”
“Sedang mencari peri”
Deretan gigi putih sekilas terlihat meski jemari lentiknya
menutupi mulut saat ia tertawa.
“Ada yang salah?”
“Kau yakin peri itu ada?”
“Sudah kubilang aku tidak tahu, menurutmu?”
“Bangunlah, dan tanyakan pada orang yang kau lihat pertama
kali”
Bukankah aku tengah terjaga? Kenapa ia memintaku untuk
bangun?
Tubuhku bergoyang seperti di dorong oleh seseorang.
“Mas, bangun mas?”
Aku mengerjap, mengucek kedua mata dengan tangan, “Loh, saya
tertidur ya pak?”
“Iya, masnya tertidur di bawah pohon ini”
Bapak yang membangunkanku berlalu, menuju ladang di
seberang, apa iya aku harus menanyakan tentang peri kepada pak petani? Bisa dikira
gila aku. Tapi jika tidak, sungguh aku penasaran, terlebih siapa wanita yang
hadir dalam mimpiku itu?
Penasaran membunuh rasa malu, aku menghampiri pak petani,
sedikit berteriak dari pematang, “Pak, menurut bapak adakah peri itu?”
Pak petani menoleh ke arahku, tersenyum dan menyuarakan
sesuatu. Tapi caping yang menutupi sebagian wajahnya menyulitkanku untuk
membaca gerak bibir beliau.
Kira-kira pak petani berkata apa ya?
Sudahlah, aku akan kembali tidur dan bermimpi tentang wanita
itu lagi. Sebut saja ia peri atau bidadari, beres.
Peri kecil hehe
BalasHapusKalau yg besar mungkin malaikat. Hee
Hapusbukan.. itu species baru yang belum masuk buku ensiklopedia :D
BalasHapushahahahahaha dik ci mimpi
BalasHapusCaping tuh apa yah?
BalasHapusTopi lebar dari anyaman bambu mbak vin... Biasa dipakai di sawah atau ladang. Fungsinya melindungi kepala dr sengatan matahari.
Hapus