Kecepatan
di atas rata-rata membuat rok panjangku berkelebat bertabrakan dengan
angin yang cukup kencang berhembus. Belum banyak kendaraan yang
mengisi jalan raya tapi sebentar lagi pasti penuh, bersamaan dengan
karyawan beberapa pabrik yang berganti shift.
Di
sepanjang jalan aku sudah membayangkan bahwa mungkin cukup waktu satu
jam sebelum menghadiri undangan Fany , tak apa terlambat toh aku
sudah mengatakan hal ini padanya.
**
Suasana
waroeng steak di daerah pinggiran kota solo masih ramai padahal tiga
puluh menit lagi akan segera ditutup. Sepeda motor berjejer rapi di
tempat parkir, tukang parkir yang selalu tersenyum memberikan
solusi untuk menyumpalkan lagi satu motor diantara penuhnya lahan.
Aku
celingukan mencari Fany, sudah pulangkah ia? Telponku tidak di angkat
pesan juga tidak berbalas, marahkah? Ahh mungkin iya, aku tidak hanya
terlambat satu jam dari perjanjian, semoga ia masih mau mendengarku.
Seorang
gadis muda dengan balutan baju hijau toska duduk menyendiri di pojok
ruangan, menunduk dengan memainkan ponsel dalam genggaman. Fany.
Sudah kuduga ia marah, tapi masih ada harapan karena ia masih disini,
belum pulang, menungguku.
“Hai….,”
sapaku dengan senyum lebar membuka percakapan yang terkesan canggung
Fany
hanya mendongak sebelum kembali sibuk dengan rutinitas seperti
sebelumnya.
“Maafkan
aku, tadi….”
Belum
selesai aku menyampaikan alasan ia menyela, “Duduklah”
Di
depanku sudah terhidang spageti kornet dengan saus merah menyala,
sepertinya pedas.
“Makanlah”
Aku
mengernyit, bukankah Fany adalah orang yang tahu benar bahwa makanan
pedas hanya akan membuat badanku lemas?
“Cepat
makan,” ulangnya
Patah-patah
gerakan tanganku melilitkan mie panjang itu pada garpu, menutup
mata sebelum memasukkannya ke dalam mulut untuk dikunyah. Benar saja,
saus campuran apa ini yang dengan cepat membakar lidahku, segera air
mineral mendorong makanan yang tak sempat kukunyah sempurna untuk
segera melewati kerongkongan.
“Kenapa
terlambat begitu lama?”
Berulang
kali aku menenggak air mineral, menetralisir rasa panas yang tak
kunjung mereda, Fany hanya menatapku bosan.
“Hei
cepatlah katakan, kau mau diusir pelayan, sebentar lagi mereka akan
menutup warung?”
“Maaf,
tadi aku mengantar ibu kontrol”
Fany
menunggu kelanjutan ceritaku yang bercampur dengan berhuh-hah.
“Percayalah,
aku sudah mengingatkan beliau berulang kali, pagi sebelum berangkat
kerja, saat makan siang dan sebelum pulang kerja”
“Lalu?”
“Saat
aku tiba dirumah kukira beliau sudah siap jadi kita bisa segera
berangkat namun ada yang terlupa, kartu periksa tidak ada di tempat
biasanya. Kami mencari beberapa waktu hingga menemukannya di bawah
bantal tempat tidur beliau”
“Hanya
beberapa waktu, kenapa terlambatmu begitu lama?”
“Ibu
lupa mengatakan padaku sesampainya di rumah sakit bahwa seharusnya
kita membawa obat yang membuat badan beliau gatal-gatal sebab
alergi. Aku sungguh tidak tahu jika dokter berpesan seperti itu saat
terakhir kami periksa. Sebelum nomor antrian kami dipanggil aku
kembali ke rumah untuk mengambil obat.”
Berhenti
sebentar, air mineral di atas meja sudah hampir habis tapi rasa pedas
ini melekat sempurna di mulutku.
“Mungkin
karena terlalu lama tiba, ibu tidak mau masuk ke dalam ruangan saat
nomor antriannya dipanggil, jadilah kami harus menunggu pasien yang
melompati nomor kami selesai diperiksa”
Fany
mengerjapkan mata, ia menarik spageti diatas mejaku dan melahapnya
tak beraturan. Segera ku mencegahnya melakukan tindakan bodoh itu.
“Apa
yang kamu lakukan?”
Aku
menyentaknya cukup keras, Fany sama sepertiku ia tak kuat pada
makanan pedas.
Orange
jus miliknya segera tandas, kuangsurkan air mineral yang masih
tersisa. Fany sesunggukan, matanya berair menatapku.
“Maafkan
tingkah konyolku”
Kuusapkan
tisu pada wajah cantiknya, ia mengenggam tanganku dan berujar, “Maafkan aku, harusnya aku tahu bahwa engkau akan selalu menepati janji, maafkan aku memaksamu memakan masakan pedas ini,
maafkan aku...maafkan aku”
Aku
memeluknya. Ia hanya berlebihan.
------++++-------
Dan
Allah telah menciptakan kamu, kemudian mewafatkanmu, di antara kamu
ada yang dikembalikan kepada usia yang tua renta (pikun), sehingga
dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang pernah diketahuinya. Sungguh,
Allah Maha Mengetahui, Maha Kuasa. (16:70)
Kerennyaa kaci😍
BalasHapusKeren dik ci
BalasHapusYa Allah...nggak tahu kudu ngomong apa....cm ikut kepedesan jadinya..hehehe
BalasHapus