Ruangan
kantor sunyi, tak ada suara dari komputer menyala, dering telpon yang
bersahutan juga tawa renyah teman-teman kerja. Jelas mereka sudah
pulang, jarum jam menunjukkan pukul tujuh. Kenapa aku masih di gedung
tiga lantai ini?
Siang
tadi pak bos berpesan bahwa akan ada orang dari pabrik pakan ingin
bertemu, membicarakan masalah kualitas yang kami keluhkan. Terang saja
dari tampilan luar yang semakin pucat juga bau yang tak
lagi sedap. Baiklah jangan dikira ayam tidak dapat merasakannya,
pakan yang dimakan ayam turun drastis merupakan indikasi dari
berubahnya komposisi pakan, terlebih grafik produksi yang ikut turun
jelas memberikan tanda tanya.
Tapi
yah, keluhan tidak selalu ditanggapi dengan segera, jengkel juga,
memangnya mereka tidak tahu makna dari peribahasa “Pembeli adalah
raja”? Kami ambil langkah segera, pemesanan pakan dipangkas hingga
50% dari pembelian biasanya. Barulah mereka kalang kabut, hhaa. Tahu
rasa kan, ups.
Ahh,
kami berjanji akan bertemu pukul 6 sore tapi hingga satu jam menunggu
tak ada berita apa pun dari mereka. Oke, setelah terlalu lama
menanggapi keluhan konsumen mereka mulai tidak menghargai waktu orang
lain. Aahhh, hubungan baik selama bertahun-tahun ini telah disalahgunakan.
“Halo,
selamat malam, bagaimana pak? Jadi kita diskusikan masalah pakan?,”
aku menelpon sebelum habis kesabaran.
“Iya
mbak jadi, maaf tidak memberi kabar, sepertinya akan terlambat sebab
tadi di kantor sedang ada rapat”
Aku
menjauhkan wajah dari gagang telpon, mendengus kesal, ini orang
memang perlu ditenggelamkan rupanya, “Sekarang sudah sampai mana,
Pak?”
“Kami
sudah sampai di salatiga,
mungkin dua jam lagi akan tiba di solo”
Jika
diijinkan aku akan mengumpat. Mengingat harus menjaga citra diri maka
beristighfar dalam
hati menjadi andalan satu-satunya. Oh ya, beliau adalah kepala
marketing, bukan orang yang biasa berhubungan langsung denganku saat
pemesanan. Aku tahu sesibuk apa beliau, itulah kenapa kami berjanji
untuk membicarakan hal penting ini di luar jam kerja.
“Maaf
Pak, saya jam sembilan sudah ada janji. Kita buat perjanjian ulang
saja”
“Oh
gitu mbak? Tapi saya sudah jauh-jauh meluangkan waktu dari Semarang
ini”
Saya
juga sudah menyia-nyiakan waktu untuk menunggu bapak, rutukku lirih.
“Hallo,
sekarang saja ya mbak?”
“Maaf
pak, saya tidak bisa. Besok pagi saya hubungi bapak lagi,
terimakasih”.
Kembali ke Semarang hanya membutuhkan waktu satu jam, kurasa itu lebih baik daripada meneruskan perjalanan ke solo. Tentang waktu yang terbuang? baiklah kita anggap saja impas.
Klik..
Gagang telpon berada di
tempatnya semula. Bergegas aku mematikan lampu ruangan dan keluar
dari kantor. Pukul 07:15, rintik hujan semakin deras. Pasti jalanan
kota solo akan macet parah jika aku mengemudikan mobil, maka
keputusan meminjam motor kantor menjadi pilihan untuk mengejar tiga
puluh menit ke depan, tak mau membuat seseorang menunggu terlalu lama
di stasiun.
Lima
menit setelah aku menginjakkan kaki di stasiun jebres hujan deras
mengguyur bersamaan dengan tibanya kereta Gaya Baru Malam jurusan
Pasar Senen-Surabaya. Aku berdiri menggigil di depan pintu keluar
para penumpang. Seratus meter di depanku orang yang kutunggu berjalan
kepayahan dengan koper di tangan kanannya, segera aku menyusul untuk
mencium tangan beliau.
Tangan
tua itu semakin keriput, hanya kulit coklat yang terbakar matahari
melapisi tulang, rasa sesak menyusup membuat air menggenang dikedua
pelupuk mata.
“Pegangan
kopernya rusak, Ma?”
“Loh,
iya ya”
Ya
Rabb, bahkan beliau lupa jika koper ini memiliki pegangan yang
memudahkan penggunanya untuk menarik tas besar ini agar lebih mudah
dibawa.
Tak
tega sebenarnya membiarkan beliau pergi ke luar kota sendirian, tapi
tetap saja keukeuh
untuk mengunjungi satu per satu anak-anaknya. Aku menjadi yang
terakhir dan itu berarti memiliki waktu yang paling lama untuk
bersama beliau, horeee.
Taksi
menjadi pilihanku untuk membawa mama pulang ke rumah sedangkan aku
tak mungkin meninggalkan sepeda motor milik kantor di stasiun. Begitu
lebih baik sebab hujan deras baru saja datang, akan lama rasanya
untuk reda, tak mungkin membiarkan mama kehujanan setelah sembilan
jam perjalanan yang melelahkan.
Ponselku
berdering dan nama pak bos tertera besar di layar, baiklah aku tahu
apa yang akan ia katakan. Aku menata hati untuk apa pun yang akan
beliau bicarakan,
tak ada yang mampu menggantikan kesempatanku bersama mama.
“Halo,
iya pak?”
“Besok
jam 7 pagi temui saya di kantor”
Belum
juga aku membalas sambungan telpon sudah terputus.
Sudah
lupakan, malam ini aku tak ingin memikirkan apa pun, ingin kuhabiskan
malam bersama seseorang yang berjuang keras hingga hidupku seperti sekarang.
Malam
berlalu, aku terbangun dari tidurku, mama lelap disampingku. Aku
mengamati beliau dengan seksama, merasa lega saat dengkuran nafas
masih terdengar. Aku ingin terjaga saja, memastikan mama tidak
kesepian saat beliau terbangun tengah malam nanti, hal yang sering
terulang belakangan ini, faktor usia kata dokter. Aku ingin
menemaninya berbincang hingga pagi, menyeduhkan teh tawar kesukaannya
dan pergi kepasar untuk membeli sarapan ba'da subuh.
Sungguh
hal semacam ini tak mungkin bisa berulang setiap hari, tak lama
beliau akan kembali ke desa, hidup sederhana jauh dari hiruk pikuk
kota. Selalu menolak untuk diajak tinggal dengan
salah satu anaknya.
Apa
lagi yang bisa aku perbuat untuk seseorang yang telah menghabiskan
seluruh tenaga mudanya untuk membuat kami meraih mimpi dan cita-cita
hingga sukses seperti sekarang ini?
Semoga
di usia tuanya
kini, kami mampu setidaknya membuat beliau tidak
khawatir meski yakin apa pun yang kami
lakukan tak akan membalas segala pengorbanan beliau. Kasih sayang
beliau sepanjang masa. Guru pertama yang mengajarkan baca tulis, teman setia disaat suka dan duka, pelukan terhangat untuk setiap luka, dan tempat ternyaman untuk bermanja. Pahlawan sesungguhnya yang membuat kami
mandiri dan berguna bagi nusa dan bangsa.
-----------+++++++++++------------
Dari
Abdullah bin Mas”ud katanya, “Aku bertanya kepada Nabi
Shallallahu “alaihi wa sallam tentang amal-amal yang paling utama
dan dicintai Allah ? Nabi Shallallahu “alaihi wa sallam menjawab,
Pertama shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di
awal waktunya), kedua berbakti kepada kedua orang tua, ketiga jihad
di jalan Allah”.[Hadits Riwayat Bukhari I/134, Muslim
No.85, Fathul Baari 2/9>
Abaikan pak bos. Mama lebih utama. Keren dan.. terharu saya, mba.
BalasHapusjadi kangen bunda aku...
BalasHapusbundaaa...
kaulah muara kasih dan sayang...
Aku penasaran pak bos mau ngomong APA...hahahaha
BalasHapus