“Warna
kerudungmu terlalu mencolok, ganti”
Wanita
dihadapanku melepas jilbab segi empat yang telah rapi ia kenakan
untuk menutupi rambut indahnya. Mendekatiku perlahan yang sejak tadi
mengomentari setiap penampilannya dari ujung ranjang.
“Mas, aku
mulai meragukan undangan yang engkau ceritakan”
Keningku
berkerut, mana boleh seorang istri mengatakan hal tersebut kepada
suaminya. Itu sama saja ia menaruh curiga pada lelaki yang memiliki
tanggung jawab penuh atas hidupnya.
“Coba
lihat Dik, warna abu-abu akan membuat wajahmu terlihat lebih cerah,
mengundang banyak pasang mata untuk mengaguminya.”
“Oooo...
jadi itu masalahnya, kenapa tak bilang dari tadi sayang”
“Paham
Dik sama maksudku?”
“Lebih
baik sedari awal kang mas bilang kalau njenengan cemburu jika
ada yang melirik istrimu ini”
Aku
menggaruk kepala yang tidak gatal, kenapa malu rasanya untuk mengucap
cemburu pada wanita yang baru tiga bulan ini menjadi pendamping
hidupku.
“Maafkan
aku Dik,” ucapku sembari menunduk. Ada rasa bersalah saat mengingat
tingkah konyolku. Menyuruhnya mandi ba'da isya hanya karena body
lotion yang ia gunakan terlalu wangi, mengabaikan rasa dingin
yang membuatnya sedikit menggigil. Menyuruhnya menghapus segala
riasan make up yang dua puluh menit lamanya ia harus berdiam
diri di depan cermin. Riasan itu membuatnya semakin mempesona, aku
takut lelaki lain tergoda. Dan tentang baju-baju itu entah berapa
kali ia harus mencoba, memperlihatkannya padaku, menurut saat aku
menyuruhnya ganti, mencoba lagi, memperlihatkan lagi, mengganti lagi.
Jemari
lentiknya menggenggam tanganku yang besar juga hitam, ahh dilihat
dari kesenjangannya ini saja patut aku mencemburui istriku, ia
cantik, mempesona juga sempurna.
“Semua
yang aku lakukan agar kang mas tak malu saat memperkenalkan
aku terhadap teman njenengan nanti. Tapi jika beriasku
membuat hatimu gusar, penampilanku membuat hatimu tak tenang, maka
aku akan senang sekali untuk berdiam di rumah saja. Menanti dirimu
kembali sembari berias untukmu seorang.”
Tuhan,
hatiku tak menentu mendengar penuturannya. Lelaki macam apa aku ini,
hah? Tega sekali menyusahkan belahan jiwa demi ego. Dia berhak
untuk berkenalan dengan teman-temanku, aku percaya dia tahu cara
menjaga separuh nafas yang aku titipkan.
“Ayo
sayang kita bersiap, silahkan pakai baju yang engkau suka tapi jangan
tambahkan apa pun pada wajah juga bibirmu”
“Pakai
baju tidur saja ya?”
“Jangaaannn”
Wanita
dihadapanku terkikik, sial aku dikerjain.
**
Udang saus
balado, cumi bakar rempah asam pedas, lalapan dan sebakul nasi telah
terhidang di atas meja kecil di bawah hamparan langit yang dipenuhi
kerlip bintang. Tak ketinggalan dua gelas es jeruk nipis melengkapi
menu makan malam kami.
Dino teman
satu SMA ku membuka warung makan di lereng gunung lawu, perbatasan
antara jawa tengah dengan jawa timur. Ia pandai sekali membaca
peluang usaha, tempat yang di pilihnya jikalau malam hari menghadap
kota solo dengan lampu kota yang menawan, langit malam menjadi atap,
hiasan alam sempurna membuat takjub mata yang memandang. Dingin udara
pegunungan menambah kesan romantis setiap pasangan yang datang.
Saat siang
hari hamparan hijau bukit menyejukkan indera penglihatan. Birunya
langit mencerahkan setiap jiwa yang lelah, awan putih bersih yang
berarak memberikan semangat untuk bergerak.
Dia tahu
bahwa tempatnya cocok untukku yang memiliki waktu terbatas untuk
sekedar pergi liburan.
“Mas, aku
suapin ya”
Aku membuka
mulut, mataku tak berkedip menatap anugrah terindah yang Tuhan
berikan.
Satu...
dua... tiga suapan, “Minum sayaang?”
Anggukan
kecilku cukup menjawab pertanyaannya. “Sudah cukup”
“Apa?”
“Giliran
adik yang makan, aku suapin gantian?”
“Tidak..
tidak... aku bisa makan sendiri”
“Ayolah
ini lezat sekali”
Ia
mengangguk. Dua suapan. Suapan berikutnya ia tahan, menggeleng pelan
dan menenggak lembut minumannya.
“Mas, aku
mau kebelakan bentar ya? Kang mas habiskan saja makanannya, aku sudah
kenyang.”
“Jangan
lama-lama sayang”
Lima belas
menit berlalu, ahh wanita... sebenarnya apa saja yang mereka lakukan di
dalam toilet sih?
Baru
aku akan menyusul takut kalau terjadi apa-apa, wanitaku telah nampak
berjalan tenang dengan anggunnya, aku sibuk memperhatikan sekitar
jika ada mata yang tidak halal sedang mengaguminya. Enak saja, dia
milikku seutuhnya.
“Lama
banget sih, ngapain aja di toilet?”
“Mas,
kepalaku pusing. Kita pulang ke rumah mamah yuk?”
Haa?
Kalut.. kenapa tiba-tiba ia pusing? Baru kusadari wajahnya pucat
pasi, suaranya melemah, dan.. pulang ke rumah mamah? Ke kota
semarang? Lima jam dari sini. Sekarang pukul sembilan berarti jika
jalanan lancar baru jam dua dini hari kami akan sampai.
“Tidak
sayang, kita pulang ke rumah. Besok pagi aku antar ke rumah mamah”
Wanitaku
menggeleng lemah, ia semakin tak bertenaga, membuatku lemas dengan
perubahan drastisnya.
“Oke,
tunggu disini aku bayar makanan kita”
Sepanjang
perjalanan hatiku tak menentu, khawatir tentang keadaannya. Ia
berulang kali menolak untuk ku ajak ke rumah sakit atau sekedar
membeli obat di apotik. Badannya tergolek tak berdaya, ada keringat
dingin yang mengucur memenuhi wajahnya.
Cukup!
Aku menolak memenuhi segala
permintaannya. Memutar balik mobil, memasuki pelataran rumah sakit
swasta yang cukup lengang.
Sigap
perawat mendorong kasur beroda dimana wanitaku tak sadarkan diri. Aku
mengutuki diri mengapa tak berhenti saat melewati rumah sakit
pertama.
Wanitaku
memasuki ruang UGD, beberapa saat setelah dokter jaga memeriksanya
perawat menusukkan jarum infus di lengan kiri istriku, mengatur
tetesan cairan bening tersebut dan menyelimutinya hingga batas dada.
“Bagaimana
dokter keadaan istri saya?”
“Istri
bapak baik-baik saja, beruntung bapak segera membawanya ke rumah
sakit”
Kembali aku
membodohi diri sendiri, andaikan dokter tahu yang sebenarnya pasti ia
akan memakiku.
“Apa
istri bapak baru tahu kalau ia alergi terhadap makanan laut?”
Deerrr...
kepalaku berputar, pening seketika, ini kah alasan ia menolakku untuk
menyuapinya?
“Juga
maag akut yang ia derita menambah parah kondisinya”
Maag? Akut?
Kenapa ia tak menolak saat aku memesankan jeruk nipis sebagai minuman
kami? Tunggu.. bukan salahnya, aku yang tidak menawarinya, aku yang
langsung memesan menu tanpa mempertimbangkan pendapatnya.
“Kami
sudah memberikan penawarnya, kurang lebih dua jam lagi istri bapak
akan siuman. Dokter akan memeriksanya lagi, jika kondisinya
memungkinkan bisa langsung pulang namun jika belum, terpaksa istri
bapak harus opname”
Aku, lelaki
yang dengan bangga menjabat tangan ayahnya kala mengucap ijab kabul,
berseloroh akan membahagiakannya, menjaga sepenuh hati hingga maut
nanti ternyata malapetaka terbesar baginya.
Lelaki sok
tahu yang dengan angkuh mengabaikan segala hal tersembunyi, tak
mencari tahu terlebih dahulu. Lelaki macam apa aku?
Sekarang?
Aku hanya bisa meratapi saat di dalam sana wanitaku tengah berjuang
melawan kebodohanku. Inilah titik balik sikap aroganku. Aku tak mau
kehilangan dia, kumohon Tuhan, kasihani aku.
Sayaang...
buka matamu... sadarlah... kau harus menghukumku... maafkan aku...
Keren dik ci...suka banget
BalasHapushebat de ci
BalasHapushebat de ci
BalasHapuswanitanya pasrah yah haha..
BalasHapusterlalu penurut.
#komentar ala emak2 klo lg nonton sinetron
Nolaaaak attttuuuuh
BalasHapussebenernya sedikit emmm, tapi keren deh, hiks,,,
BalasHapuschandratatian.blogspot.co.id
yang jelas tokoh cewek nya bukan ci li
BalasHapusKang mas. Ahihihi keren, ka ci ni postingan jempol deh
BalasHapuskeren euy ceritanya..
BalasHapusTran Ran
Aihhhh...kok bisa suaminya nggak tau istrinya alergi????😈
BalasHapus