Sedari dulu
saat pertama aku diijinkan guru untuk menulis dengan pena maka tak
ada satupun hal terlewat tanpa aku catat. Memperhatikan bapak dan ibu guru
menerangkan di depan kelas adalah hal menarik yang tak ada duanya.
Takjub menyelimuti ruang kelas saat beliau menguraikan penjelasan
yang tidak tercetak pada buku panduan, terlebih saat setiap
pertanyaan dari teman-teman mampu dijawab dengan memuaskan. Sejak
itulah aku berpikir bahwa guru adalah orang hebat yang tahu
segalanya. Pasti akan sangat menyenangkan untuk menjadi seorang guru.
Menginjak
remaja dunia yang kukenal bertambah luas, mengikuti berbagai
ekstrakulikuler sekolah menjadi kesibukan tambahan disamping belajar.
Singkat cerita aku bergabung dengan organisasi islam dan terlibat
dalam program kerja bedah buku di sekolah, menghadirkan seorang ustad
dan juga penulis yang menjadi pembicara. Pandanganku berubah, betapa
barokahnya hidup menjadi seorang yang mengingatkan sesama agar
selamat dunia dan akhirat. Mungkin menulis hal yang bermanfaat akan
mengalirkan pahala tak terputus, heemm... terdengar mengagumkan.
Setelah itu
banyak hal aku temui, tak henti aku berdecak kagum setiap berkenalan
dengan orang baru dan profesi baru. Tapi tak mungkin aku menjadi
semuanya kan? Maka dari itu bertahun-tahun setelah kebimbangan
menyelimuti hati, disinilah aku sekarang.
Layar
proyektor menampilkan tulisan-tulisan yang cukup mudah dibaca meski
peserta berada di kursi paling belakang, moderator duduk di atas sofa panjang
yang terletak di depan spanduk besar bertuliskan,
“Menemukan Potensi Diri”. Pembicara menguasai aula yang bagiku
terasa dingin sebab tak biasa berada diruangan ber-AC. Beberapa kali
terdengar riuh peserta saat pembicara melontarkan guyonan-guyonan
sebagai penyegar di tengah diskusi yang serius ini.
Aku? Takzim
pada buku catatan, tak boleh ada yang terlewat apa pun yang
ditampilkan pada layar juga apa yang pembicara utarakan.
Hampir
setengah acara berjalan, aku menyadari sesuatu yang mengusik.
Disampingku duduk seorang perempuan dengan jilbab lebar dan
berkacamata, ia tak mencatat apa pun. Wajahnya penuh minat setiap
pembicara menjelaskan satu persatu dari tulisan yang muncul di layar,
ikut tertawa saat caandaan nara sumber terdengar konyol. Santai
sekali.
Beberapa
kali aku melirik, tak ada catatan panjang yang ia bubuhkan pada buku,
hanya satu dua kalimat yang menghiasi modul dengan warna pena
berbeda. Aku biarkan dulu. Selang beberapa waktu aku gemas juga,
seminar ini kami membayar mahal jadi sudah seharusnya memanfaatkan
waktu dan kesempatan yang ada. Setelah menimbang-nimbang aku harus
menyadarkannya dan untuk itu aku harus tahu dulu siapa dirinya.
“Mbak,
dari mana?”
Perempuan
itu tersenyum, mengangguk kecil sebelum menjawab pertanyaanku, “Dari
wonogiri mbak, kalau mbak nya sendiri?”
“Saya
Klaten mbak, ooo wonogiri, jauh juga ya, tadi dianter mbak?”
“Iya sama
suami”
Aku
mengangguk, “Hhii, kirain masih kuliah mbak”
“Sudah
lulus mbak, angkatan 2012. Mbaknya angkatan berapa?”
“Saya
baru sementer lima mbak. Sekarang sibuk apa mbak?”
“Di rumah
aja mbak, bantu suami”
Dapat.
Pantas saja, menikah muda dan menjadi ibu rumah tangga. Ahh, mungkin
ia tak seharusnya ada di ruangan ini. Buang-buang waktu saja. Bisa
kutebak bahwa ia tak akan membawa pulang ilmu apa pun sebab tak
sedikitpun kulihat rangkuman ilmu yang pembicara sampaikan. Tak yakin
jika ia menghapal semua materi ini, ingatan itu tidak bisa dipercaya
bahkan Imam Syafi'i sendiri menganjurkan untuk mengikat ilmu dengan
menulisnya. Ironi melihat ibu rumah tangga masa kini yang tidak
tertarik untuk banyak belajar lagi.
Masih ada
waktu, mungkin jika beruntung aku bisa menyadarkan mbak ini untuk
segera mencatat, ketertinggalannya bisa pinjam milikku.
“Ehhmm...
Mbak?,” sungkan juga ternyata untuk memberitahu orang yang lebih
tua
“Iya?”
Aiisssh,
biar kutebak pastilah suaminya jatuh cinta karena senyum manis itu.
Aneh, tak ada lesung pipit di wajah namun terlihat manis sempurna.
“Sejak
tadi aku tak melihat njenengan mencatat”
“Dan saya
melihat mbaknya rajin sekali mencatat”
Aku
tersipu, ahh ternyata ia juga memperhatikanku, baiklah ini lebih
mudah.
“Lalu
kenapa mbak ngga mencatat?”
“Kenapa
saya harus mencatat?”
Ya, biar
pahamlah. Masak iya kayak gini aja saya harus kasih tahu? Udah pernah
jadi mahasiswa juga kan?
Perempuan
disampingku itu tersenyum lagi. Tangan putihnya membuka halaman modul
yang aku pun juga punya, “Kenapa saya harus mencatat sebanyak itu
jika semua sudah tercatat rapi dalam modul ini?”
Duaarrrr,
ingin rasanya aku ditelan bumi saja. Modul yang telah dibagikan
seminggu
sebelum pertemuan tidak sekalipun aku membacanya, sok sibuk
dengan urusan formal lainnya. Dan segala prasangkaku pada perempuan
disampingku ini salah besar.
“Maaf,
membiarkanmu mencatat terlalu banyak, tapi semoga dengan ini engkau
paham betul bahwa membaca adalah awal dari segala ilmu.”
Meringis.
Pasti jelek sekali mukaku. Menunduk adalah hal yang saat ini bisa
kulakukan, menunjukkan rasa kalahku. Dasar sok tahu, rutukku dalam
hati. Kawan, beritahu bagaimana harus kulewati satu jam lagi bersama
perempuan cerdas yang telah kuremehkan ini.
Oh ya
ngomong-ngomong siapa yang sering tak perhatian untuk membaca modul?
Satu pelajaran berharga, ka Ci.
BalasHapusAhaha
Tak boleh meremehkan. Biar selamat dari kesombongan, ehm
Waduuuuh modul jadi inget sekokah toefl yg aku abaikan modulnya
BalasHapusDosenku jarang kasih modul. Yang ada suruh cari literatur sendiri lalu bikin makalah..ha
BalasHapussaking sibuknya jadi gak kebaca ya k...
BalasHapuskebayang nih, haha
BalasHapus