Semburat
jingga menjadi penutup hari lelahku dengan sempurna. Setelah puas
menikmati semilir angin sawah aku beranjak masuk ke dalam rumah.
Menutup pintu sebab kata nenek tak elok rumah terbuka saat azan
magrib berkumandang.
Tok...Tok...
Siapa gerangan tamu yang datang? Daun pintu berdecit saat aku
membukanya, perlahan menampakkan sosok yang dua tahun belakangan ini
tak pernah lagi bersua. Tidak kawan, sama sekali ini tidak membuatku
gembira. Waktu dimana matahari tergelincir di ufuk barat adalah waktu
yang sama selama lima tahun untukku menghapal jadwal kunjungnya.
Aku mengenalnya kelas tiga SMA, saat itu ia seorang anak laki-laki
yang pendiam juga tak banyak teman. Entahlah bukan tak ingin
bergabung, tapi seolah memiliki dunia sendiri dimana ia tak terusik
sedikitpun dengan bising kelas. Yang membuatku tertarik adalah ia
jago sekali tentang teknologi.
Pernah waktu itu ia meminjam ponselku, bertanya satu hal dan tiba-tiba seperti sulapan semua kontak di ponselku terkopi pada ponselnya. Hingga kini aku tak paham bagaimana bisa seperti itu, tak berniat pula untuk mengetahuinya. Oiya kala itu ponsel belum secanggih saat ini. Layar touchscreen belum pernah aku jumpai, semua seragam dengan keypad 3X4.
Sejak itu kami sering berkomunikasi, untukku ini sangat bermanfaat.
Ujian komputer yang menjadi momok sudah sirna sejak ia selalu duduk bersebelahan saat praktek berlangsung. Baru aku sadari setelah lulus
sekolah bahwa ia menaruh hati dan menjadi awal perpecahan hubungan
kami.
Bukan aku tak mencoba, bahkan sudah berulang kali namun rasa yang ia
harapkan ada tak kunjung hadir. Seingatku tak pernah sekalipun aku
memberikan harapan berlebih padanya, teman-temanku menyetujui itu.
Adakah sikapku yang ia salah artikan? Entahlah, terlepas dari itu
semua, cinta hadir tanpa diduga.
Kedua mata itu sayu, bola matanya yang hitam berkilau menyiratkan
perasaan sakit yang mendalam. Mulutnya terkatup, gesekan dedaunan
menjadi satu-satunya suara di keheningan senja ini.
Aaah, kenapa kau harus hadir lagi? Dua tahun ini kukira berhasil
untukmu melupakanku. Mendapatkan penganti yang lebih baik. Bukankah
kau sudah melalang ke berbagai daerah? Kenapa kembali lagi ke rumah
ini?
Aku tak berani memulai, menunggunya bersuara juga tidak mungkin.
Canggung melingkupi sekitar. Alunan azan bersahutan dari kampung satu
ke kampung yang lain. Jika tetangga yang akan menuju masjid
menyaksikan pemandangan ini, pastilah tatapan tak elok ditujukan
padaku. Tapi sungguh aku tak ingin mengajaknya masuk. Selesaikan
sekarang juga.
“Ada apa?”
Mulutnya terbuka perlahan, beberapa detik terbuang tanpa ada jawaban.
Matanya tak beranjak dari menatapku. Tangannya lemah mengangsurkan
undangan yang segera aku mencermati isinya.
Ada rasa bahagia membuncah, akhirnya ia menemukan seseorang yang
mampu memutus rasa sakit atas harapannya padaku. Perempuan yang aku
berdoa agar dari ketulusan cintanya mampu mengembalikan binar mata
itu, cahaya yang memancar dari mata indahnya saat kami baru pertama
berjumpa, sebelum tumbuh cinta akhirnya.
“Aku pasti datang,” seruku dengan ceria.
“Jangan”
Mataku memicing, mencoba menangkap maksud dari satu kata yang ia
ucapkan.
“Kumohon jangan hadir, sebab dengan adanya kau disana mungkin akan
merubah niat baikku untuk perempuan itu”
Rahangku mengeras, lantas apa maksudnya ia datang dan menyerahkan
undangan ini untukku?
Kini mata itu dipenuhi air, baiklah jika sampai ia menitikkan air
mata maka ini kedua kalinya aku melihat ia menangis. Pertama dulu
saat ia memaksaku untuk mencegahnya menyebrang pulau. Aku tak
mencegahnya, sudah kubilang rasa yang ia harapkan tak pernah mau
singgah di hatiku.
“Percayalah saat yang lain menganggap itu adalah hari bahagia
untukku maka mereka salah. Tapi aku akan mencoba bahagia untuk
perempuan itu.”
“Lalu aku harus apa?”
“Pergilah dari hadapanku, pergilah menjauh ke tempat dimana aku
tidak akan menemukanmu. Sungguh aku tak akan pernah tahu sampai kapan
hati ini akan terus condong padamu”
Mata itu tergenang, namun sekuat tenaga ia menahannya. Kali ini
aku tak diijinkan untuk melihatnya menangis. Memilukan jika seorang
lelaki menangis kedua kalinya untuk hal yang sama.
Ia melangkah gontai, meninggalkanku, berjalan pelan menjauhi
perkampungan dan hilang dibalik tikungan. Tunggu, apa kah ia jalan
kaki untuk sampai ke rumahku? Jarak rumah kami adalah sebelas
kilometer. Berapa waktu yang ia habiskan untuk sampai kembali ke
rumah?
Sekuat tenaga aku menahan diri untuk mengejarnya. Tibalah waktunya
untuk membiarkan ia pergi. Semoga kelak perempuan itu mampu
menghadirkan rasa yang engkau harapkan. Bahagia selalu untuk kalian.
Hanya fiksi, kesamaan kejadian hanya rekayasa belaka yang dibumbui kenangan :)
Posting Komentar
Posting Komentar