Beruntungnya
aku memiliki dua teman yang selalu ada. Mereka tak akan pernah pergi
seperti kebanyakan teman yang lain, tak perduli bagaimanapun
kondisiku. Keduanya seringkali berbeda pendapat, oh bukan sering tapi
selalu. Hanya bisa terkikik saat melihat mereka beradu argumen.
Keputusan terakhir memang ada di tanganku namun tak urung mereka
memiliki andil besar untuk itu.
Sebut saja
mereka 1 dan 2, sudah ada nama sebenarnya untuk mereka bukan sekadar
angka seperti yang kuberikan. Hanya ingin membuat mereka berbeda, tak
sama dengan yang lain.
Si 1 selalu
melangkah ringan bersamaku, tertawa dengan apa pun yang aku kerjakan,
kami sering menikmati hal-hal gila bersama. Terkadang menggoda adik
kecil dengan merebut lolipop dari tangannya. Melihat tangisan
si kecil serasa ada kepuasan tersendiri bagi kami, namun tenang saja
si kecil tak pernah menaruh dendam padaku berkat Si 2 yang memintaku
untuk mengembalikan dan meminta maaf setelah itu.
Si 2 memang
terkesan sangat membosankan tapi aku butuh kehadirannya. Tak lengkap
jika hanya jalan berdua, kami harus jalan bergandengan bertiga.
Persahabatan
kami terbilang cukup lama, berpuluh tahun dan mereka tak pernah
sekalipun pergi walaupun semarah apa pun diriku pada mereka. Seperti
siang ini.
Aku merasa
tak ada gairah lagi untuk hidup, berjuta ton beban membuat pundak
mereot, masalah berdatangan
tanpa ada solusi. Tugas kedua temanku bukan memberi solusi, mereka
hanya memastikan diri untuk selalu ada dan memberikan dukungan.
Memotivasi tanpa jalan keluar yang pasti, tetap saja semua akan
kembali padaku.
Keduanya
mengajakku untuk berlibur, hamparan hijau nan berbukit mungkin bisa
melepas penat, angin segar pegunungan bisa jadi memberikan hal yang
tak terduga. Sungguh aku menghargai usaha mereka, namun tak kunjung
kudapati semangat dalam diriku. Dan disinilah aku sekarang...
Berdiri
di tepi jurang menatap jauh
ke bawah, tak berdasar. Batas jalan aku abaikan, melompatinya untuk
bisa seperti ini. Kualihkan pandanganku ke depan, hamparan hijau yang
seharusnya menentramkan justru membuatku muak.
Sekeliling pemandangan
begitu indah, menakjubkan,
tak henti hati berdecak kagum tapi tak memberikan pengaruh. Keinginan
untuk segera terjun semakin bulat, dengan begini aku menghilang dari
dunia fana, terbebas dari rasa sakit juga kebohongan yang
membungkusnya. Masalah tak kan mengejar hingga tak perlu bersusah
payah mencari solusi. Inilah jalan keluar terbaik yang terpikirkan.
Kedua
temanku masih bersamaku hingga kini, yakin sekali
jika nanti aku ditelan kedalaman jurang inipun mereka akan tetap
bersamaku, tak pernah
sedikitpun meragukan kesetiaan mereka. Perdebatan mereka kali ini
mungkin menjadi yang terakhir sebelum kami pindah dunia.
Si
1 : “Tersenyumlah kawan, bukankah sebentar lagi kau akan bahagia?”
Aku
: “Benarkah setelah ini aku akan bahagia?”
Si
2 : “Pasti”
Ahh
salah, mereka tidak beradu argumen, mereka mengiyakan keputusan yang
aku ambil.
Baiklah,
jangan terlalu lama menunda aku rindu untuk bahagia. Tubuhku meluncur
dengan kecepatan yang semakin lama semakin tak
terkendali, menghujam
ranting-ranting kayu dan meninggalkan beberapa sayatan perih, bajuku
terkoyak menyerupai pengemis ibu kota yang compang-camping. Tapi aku
menikmatinya. Telinga berdengung, mata tetap terpejam menahan sakit
ini, membiarkan darah segar mengalir dari luka-luka kecil di sekujur
tubuh. Sebentar lagi... sebentar lagi semua ini akan musnah dan
bahagia sedang menungguku.
Semakin
dalam, semakin gelap sekelilingku, aku tahu meski mataku terpejam.
Udara dingin menusuk kulitku. Meringis saat angin sepoi menyapa
lukaku. Masih meluncur. Tetiba rasa takut menyelimuti, benarkah
jurang ini memiliki dasar? Akankah setelah ini bahagia tercipta? Aku
meragukan keputusanku sendiri. Tetesan air langit membasahi tubuhku,
dimulai dari kaki mengalir ke area kepala dengan amis darah, melewati
kepalaku dan lebih dulu meninggalkanku mencari dasar jurang. Posisi
terbalik semacam ini membuat kepalaku pening, mual dan berkunang.
Si
1 yang lebih dulu terjun berteriak bahagia tak jauh dariku, sedangkan
si 2 tak terdengar suaranya. Ia memang tak banyak bicara. Tunggu,
mungkinkah ia tidak ikut bersama kami untuk terjun? Dasar
pengkhianat.
Halilintar
menyambar pohon tua di bawahku, nyala api menghangatkan tubuh, untung
tidak membakarku. Semakin jauh aku terjun semakin aku tak yakin
dengan keputusanku. Saat inilah aku membenci si 2, bukankah tadi ia
meyakinkanku bahwa akan ada bahagia setelah ini? Tapi mengapa ia
sendiri tak ikut terjun bersama? Lihat saja, setelah sampai dasar
jurang, aku akan memutuskan pertemanan dengannya.
Aku
menunggu... menunggu sangat lama namun tak kunjung tiba, bertemu
dasar jurang dan menjemput bahagia. Masih jelas terdengar si 1 yang
berteriak girang.
Kurasakan
kaki kananku seperti terikat. Tali melilitnya kuat membuatku berhenti
terjun bebas.
Di
dinding terbing nampak sesosok tubuh yang mengayunkan tangannya,
inikah dasar itu? Aku menyambut tangan itu, susah payah hingga kami
menempel pada dinding. Dari dekat jelas terlihat si 2 yang
berkeringat, disekujur tubuhnya juga penuh luka sepertiku bedanya ia
masih saja tersenyum. Lengkingan si 1 perlahan menghilang dalam
kegelapan, pasti jarak kami semakin lebar.
“Ada
yang kau lupa kawan”
Aku
mengernyitkan kening, aku sudah tak sanggup berpikir dengan kondisi
seperti ini, “Katakan”
“Sebelum
terjun, kau lupa mendongakkan kepalamu ke atas. Kau belum melihat
langit yang berdiri gagah dengan awan-awan putih bersih disana. Awan
mendung yang mengandung air hujan bukanlah bencana, dia diperintahkan
Tuhannya untuk menghidupkan tanah gersang. Adakah kau ambil
pelajaran?”
Baru
kali ini si 2 berbicara cukup panjang terlebih ia menasehatiku. Tapi
aku
tak tahu kemana arah pembicaraan ini.
“Aku
lelah dan aku menyerah,” rintihku
Si
2 mengenggam erat tanganku, membawaku melesat terbang ke atas. Kami
berdua terdiam. Tak seperti perjalananku terjun yang membutuhkan
waktu lama, baru dua detik kami telah berada di tempat sebelum aku
terjun, di tepi jurang.
“Lelah
atau jengah? Tetap saja bukan saatnya untuk menyerah”
Saat
si 2 mengatakan itu datang si 1 yang sudah tak berbentuk. Darah
mengucur dari setiap bagian tubuhnya, rambutnya terjabut sebagian,
tangannya tak berada di posisi seharusnya, kedua kakinya patah
membuat ia berjalan dengan pincang.
“Dasar
jurang memang ada, tapi kuharap cari jalan lain untuk menghabiskan
nyawamu. Ini sangat menyiksa”
“Kenapa
kau tak mati?”
“Dasar
manusia, bagaimana aku bisa mati. Selagi kau masih hidup tugasku
masih berlanjut”
Napasku
naik turun, menyusup rasa bahagia dalam dada. Sungguh tak ingin lagi
aku tergesa.
INI siburuk Dan si baik pa ya dik ci..
BalasHapusIyaa... Bund. Mau nulis malaikat dan setan belum total, hhaa
HapusBelajar lagi cusss...
Temannya jangan dua, nanti ade jadi orang ketiga hihi
BalasHapusCiiee, bilang aja ka Gilang mau nemenin, ahaha
Hapusngeri kalau dah bicara ada mati2nya.. -__-
BalasHapusWuih... Keren, mba Ci.
BalasHapusHebat de ci...
BalasHapusHebat de ci...
BalasHapusCuma mau blg. Ini keren.
BalasHapus