Suamiku untuk kesekian kalinya membunyikan klakson mobil.
"Sabar dong yah, depan juga macet"
"Yang salah tuh ibu-ibu depan, heran deh"
"Heran kenapa sih?"
"Kalau naik motor tuh harusnya jaga jarak sama mobil depannya, jadi klo mobilnya berhenti nggak ngerem dadakan"
"Jalanan padat ayah, wajar dong kalau semua kendaraan dekat-dekat jaraknya"
Pagi ini kami menuju sebuah universitas kenamaan di kota Solo, ada workshop kepenulisan dan aku dipercaya menjadi narasumber. Dua puluh menit lagi acara akan dimulai tapi masih sekitar dua puluh kilometer jarak yang harus ditempuh.
Keluar kota klaten, kami terjebak kemacetan di depan pasar kartosuro. Maklum saja, ahad pagi suasana pasar pasti ramai, terlebih kendaraan yang parkir hampir memakan badan jalan.
"Tadi Bunda sudah menyarankan untuk naik sepeda motor kan, kenapa Ayah menolak?"
Suamiku menoleh kesal, "Perjalanan kita jauh, cuaca tidak menentu, masih tanya kenapa?"
Senyum termanis coba aku hadirkan, berharap mampu meredakan emosinya.
"Baiklah, dan inilah yang terjadi. Nikmati perjalanan saja, Yah"
"Masih dua puluh menit Bunda, kita bisa kejar. Jadilah contoh figure yang tepat waktu untuk para mahasiswa"
Sekuat tenaga aku menahan diri untuk tidak tertawa, apa suamiku ini sudah lupa kenapa kami harus terburu-buru seperti ini.
"Tidak Ayah, aku bisa hubungi panitia. Lebih baik terlambat asal selamat"
Din.. Din...
"Ayah sudah hentikan"
"Bunda tidak lihat, aaarrggg kenapa semua ibu-ibu itu sama saja sih. Bisa kupastikan dia tidak lulus ujian SIM. Apa tidak paham kegunaan lampu sein?"
Aku memegang lembut tangan kirinya yang bebas, membuat suamiku menoleh ke arahku.
"Ayah, kalau Bunda dimaki-maki orang, apa yang akan ayah lakukan?"
"Apa? Siapa yang melakukan itu? Katakan Bunda"
Aku menggeleng, emosinya masih saja sulit terkontrol, namun selalu ada celah untuk memberitahukan kebenaran pada seseorang. Rasa cintanya padaku adalah titik lemahnya.
"Tak lama lagi, mungkin waktu akan segera mengubah rambut hitamku, mengendurkan kulit wajahku juga mungkin membungkukkan tubuhku"
"Bunda ini ngomong apa sih?"
"Pasti tiba waktunya aku tak sekuat sekarang, rasa takutku menjadi lebih besar, dan kemampuanku untuk berpikir banyak hal menurun drastis"
"Ayah nggak paham deh"
"Coba ayah bayangkan, ibu-ibu di depan itu Bunda. Terlalu banyak perhitungan mendahului sebuah mobil, terkesan ragu-ragu. Kenapa? Karena dia mengingat keluarganya di rumah. Dia harus benar-benar yakin untuk selamat sampai di rumah."
"Bunda alay deh, memang Bunda nggak paham kegunaan lampu sein?"
"Itulah maksudku saat mengatakan bahwa otakku terkadang tidak bisa terfokus. Seringkali tindakan tak sesuai dengan apa yang dipikirkan"
"Tetap saja bahaya Bunda"
"Iya, semoga Ayah selalu ada disamping Bunda dan siap sedia mengantar kemanapun"
"Jadi Bunda setuju bahwa tak seharusnya ibu-ibu itu berada di jalan raya?"
Aku mengangguk, "Tapi mungkin tak ada pilihan"
"Tetap saja itu membahayakan Bunda"
"Cobalah berpikir dewasa Ayah, keselamatan berlalu lintas bukan tanggung jawab satu pihak saja"
"Heemm... Baiklah, baiklah Bunda. Ayah akan berhati-hati. Jika bertemu ibu-ibu semacam itu lagi, Ayah akan mengalah atau malah tancap gas agar segera terbebas"
Ya begitulah, banyak hal di dunia ini yang berada di luar kendali kita.
"Bunda...."
"Ya Ayah?"
"Maaf yah, gara-gara semalam begadang bangun kesiangan dan kita terlambat"
Baguslah, jika akhirnya suamiku tersadar. Intropeksi diri sendiri sebelum melimpahkan kekesalan pada orang lain.
Gara-gara semalam begadangan, bangun kesiangan, shalat jamaah di masjid terlambat, kepala pusing, mudah marah.
BalasHapusNah betul pak...
HapusSuwun sudah mampir.
omelin makanya mbak ci biar gak begadang terus :)
BalasHapus