Aku
melangkah keluar dari ruang dosen, menuju gerbang utama universitas.
Pukul 16:02 masih sangat memungkinkan untuk menanti BST di depan
halte kampus. Belum terlalu sore namun hujan yang tak henti mengguyur
sejak pagi tadi merubah warna langit menjadi kelabu.
Lengang,
tak ada orang lalu lalang meski kulihat beberapa mobil terparkir rapi
di halaman. Itu pasti milik kakak kelas, tak perlu heran. Cobalah
bertandang ke fakultas hukum saat pagi maka kau lihat beragam mobil
dari segala perusahaan berjejer rapi. Satu dari sekian banyak
perbedaan mencolok dengan fakultas lain. Tak ada yang salah,
kebanyakan orang tua mereka adalah penegak hukum yang telah sukses,
dan anaknya menginginkan kesuksesan yang sama.
Payung
berwarna merah menyala menjadi pelindung kepalaku dari sisa-sisa
hujan yang mulai reda. Biasanya aku mengendari jazz putih dengan
kepala besar hello kitty yang menempel apik di kaca belakang,
di dalamnya warna pink mendominasi dengan harum bunga melati. Ibuku
adalah perias pengantin, selalu sisa-sisa melati aku sebar di dalam
mobil untuk menentramkan perasaan setelah berkutat dengan pasal-pasal
di dalam kelas.
Sekarang
tidak boleh, aku harus terlihat biasa saja karena diminta dosen untuk
membantu memecahkan masalah anak jalanan yang berhubungan erat dengan
tindak kriminal. Berbahaya jika mereka memergokiku mengendarai mobil,
tak ada yang tahu apa yang bisa mereka lakukan karena telah mengusik
hidupnya. Anggap saja ini totalitas.
Gedung
perpustakaan tiga lantai terlihat menyeramkan tanpa mahasiswa di
dalamnya, ahh ya jam operasional memang sampai pukul 8 malam tapi
kurasa mahasiswa lebih memilih mengistirahatkan otak mereka sejenak
di rumah ketimbang membuat otak panas dengan jurnal-jurnal.
Melewati
Fakultas teknik membuatku semakin tenang, setelah ini gedung rektorat
dan hanya 500 meter lagi untuk keluar dari kampus. Semenjak aku
mengiyakan kasus ini perasaanku seolah diikuti oleh seseorang, entah
siapa tapi sampai saat ini toh semua itu tidak terbukti.
Menurut
ilmu dasar psikologi yang aku dalami pada semester awal, takut
merupakan salah satu emosi dasar selain kebahagiaan, kesedihan dan
kemarahan.
Nah kan...
hatiku ciut tiba-tiba. Di bawah pohon beringin berkumpul beberapa
orang bermotor. Berpakaian biasa dan tidak terlihat membawa tas
seperti kebanyakan mahasiswa. Seolah diisyaratkan semua pandangan
mata tertuju padaku. Tak mungkin putar balik dan mencari jalan lain,
semakin berisiko. Bentuk tanah yang bergelombang memaksa pihak
universitas untuk menanam pohon-pohon besar untuk mencegah erosi,
jika siang memang sangat sejuk tapi sekarang begitu ngeri.
Aku
merutuki diri yang menolak Bu Ismi untuk pulang bersama, jelas, sebab
ia baru akan keluar kampus ba'da magrib sedang aku ingin segera tiba
di rumah. Atau lebih baik aku kembali ke ruang dosen dengan tampang
tak tahu malu kemudian meralat ucapanku? Ahh tidak.. tidak.
Satu
tarikan nafas tidak membantu sama sekali, kuulangi menarik nafas
lebih dalam lebih dari tiga kali dan nihil. Aku mulai curiga pada
diriku sendiri yang cenderung cemas terhadap segala hal. Baiklah, ini
kasus perdana jika di awal aku tak bisa mengontrol diri maka menjadi
hakim sepertinya akan mustahil. Saatnya mendoktrin diriku sendiri.
Perlahan
kembali kuayunkan langkah kaki, memasang wajah biasa saja dan abai
terhadap tatapan mereka. Semakin dekat jarak diantara kami tak
dipungkiri semakin berdegup detak jantungku.
Salah satu
dari mereka menyalakan mesin motor, suaranya yang tak halus membuat
kakiku gemetar. Sekitar lima langkah lagi aku melewati mereka dan
saat itulah orang yang menyalakan motornya telah melaju pelan
mendekatiku. Waspada, apa pun bisa terjadi dan kembali harus
kutekankan pada diri sendiri, wanita tidak boleh berjalan sendiri,
terlebih saat kasus dalam genggaman, sangat berisiko.
Aku terus
berjalan, menatap lurus ke depan saat pemuda bermotor itu mengiringi
langkahku.
“Ojek,
Neng?”
Fiuhhhhh....
aku lupa kampusku memiliki layanan ojek online dua puluh empat jam.
Kulihat dileher pemuda itu tergantung kartu sebagai pengenal dari
kampus. Mereka mahasiswa di kampus yang sama denganku.
Beuuuuuh tukang ojeg. Kirain Geng motor
BalasHapusaku dah deg-degan dik ci
BalasHapusAhaha. Ka ciani nii... Ojeg, ojeg, hihi
BalasHapusJd lega setelah dengar suara pengendara motornya. "Ojeg, Neng?"
BalasHapus