Hissshh..
selalu berantakan deh, padahal setiap sebelum pulang meja kerja aku
rapikan sedemikian rupa. Tapi yah, mbak Sri nggak salah juga
sih. Kebersihan kantor menjadi tanggung jawabnya. Lagian aku juga yang mungkin sedikit berlebihan, barang-barang bergeser sedikit saja
kalang kabut.
Ahh
engga berlebihan juga sebenarnya, semua barang sudah berada di tempat
yang semestinya seperti straples pink harus berada di samping
kalkulator bersanding dengan kumpulan klip warna-warni. Kalender
duduk berada di pojok meja, angka-angkanya harus jelas tanpa
terhalang kotak pensil yang berisi stabilo orange dan hijau.
Seringnya penghapus yang jauh dari posisi awal sebab selalu kutemukan
ia bersatu bersama gunting, penggaris dan pena “Fadeproof”.
Tunggu,
ada yang berbeda. Setangkai mawar putih biru soft
berada
tepat di tengah meja. Siapa pula pengirimnya, tahu dari mana aku
menyukai segala jenis bunga mawar.
Eh,
ini memo rupanya :
Aisshhh...
kepala devisiku ini memang kelewat PD. Tumben juga ngingetin rapat
dengan bunga segala, lagian aku kan karyawan rajin dan disiplin yang
tak perlu diragukan kedatangannya, hhaa.
**
Rapat
berjalan selama dua jam. Laporan pelaksanaan vaksin sedikit
bermasalah pada ayam “stater”, cuaca yang tak menentu sedikit
banyak mempengaruhi kondisi kesehatan ayam. Vaksin akan sia-sia jika
diberikan saat ayam dalam masa pengobatan. Juga mengingat harga
vaksin yang cukup melambung, segala upaya dilakukan agar ayam tak
mudah jatuh sakit. Sebab mundurnya jadwal pelaksanaan akan
memunculkan masalah baru.
Tapi
tenang saja, kepala devisiku yang sudah berkeliling menghadiri
berpuluh macam seminar peternakan juga berteman karib dengan dokter
hewan serta ahli gizi pakan dengan tenang hadir dengan beribu solusi.
Kak Frans, kau memang bisa diandalkan.
Ada
masalah sedikit juga saat pemesanan vaksin pada salah satu pabrik.
Barang habis. Tidak usah panik. Team kami sudah memiliki mental
peramal jangka panjang, masih ada cukup waktu untuk menunggu pabrik
menyiapkan barang yang kami minta.
Rapat
ditutup dengan tepuk tangan, juga yel yel buatan Kak Frans yang
sedikit menggelitik.
Ayam
sehat... petok... ayam sehat... petok.... semangat petok... petok....
Kenapa
mudah sekali bagi Kak Frans menjadikan hari-hari kami begitu
bersemangat... lagi, aku mengaguminya.
“De,
rapat lanjutan sekalian makan siang yuk”
“Eh...
semua?”, sedikit panik karena teman-teman sudah mulai keluar
ruangan.
Kak
Frans terkikik, “Kamu masih gadis kecilku yang dulu.”
Lima
tahun menjadi partner kerja membuat Kak Frans mengenalku dengan baik.
Selisih usia yang tak jauh beda menjadikan hubungan kami layaknya
kakak adik, ia menjadi pembimbingku memasuki masa dewasa dari tidak
teraturnya masa remaja.
“Kita
berdua aja”
Ketumbenan
yang kedua oleh Kak Frans. “Traktir?”
Ia
mengangguk. Kami berjalan menuju warung makan di depan kantor, namun
Kak Frans tidak berhenti, ia terus berjalan memasuki area mall besar
di seberang jalan raya. Aku diam tanpa penyanggahan, ada bagian dalam
hati yang mengatakan bahwa ini tidak wajar. Tapi aku tidak berani
mengucapkan firasat ini.
Kak
Frans bersiul pelan, poninya berlari-lari ditiup angin siang yang
kering. Aku sibuk memegangi ujung jilbab yang juga berkibar kesana
kemari. Ini
nih... salah siapa tidak menggunakan jilbab dengan kain yang sedikit
lebih berat,
rutukku dalam hati.
Akhirnya
kami duduk pada salah satu meja di ujung ruangan foodcourt
yang
mana terlihat jelas bangunan kantor kami yang berlantai tiga. Kak
Frans memesankan makanan yang sama tanpa lebih dulu menawariku, nurut
aja sih kan dibayarin.
“De,
bunganya suka?”
Aku
mengangguk sembari menyeruput es teh yang beberpa menit lalu diantar
oleh pelayan berseragam abu-abu. Nasi goreng sosis yang masih
mengepul menggoda untuk disantap juga telah terhidang di depan mata.
“Ya
udah, yuk makan”
Kembali
sebuah anggukan persetujuan aku berikan. Satu sendok nasi goreng
melenggang ke dalam mulut, nikmat sekali rasanya, Kak Frans memang
jago pilih makanan.
“De...
boleh aku suka kamu?”
Segenap
tenaga aku kerahkan untuk menelan makanan yang belum sempurna aku
kunyah, buru-buru Kak Frans menyodorkan es teh melihat wajah kalutku.
“Enggak
boleh”
“Kenapa?”
Aku
mempertontonkan jemari tangan kananku, “Lihat?” berharap semoga
Kak Frans tersadar bahwa sudah ada orang lain yang kini mengikatku.
Ia
mengangguk. Makan siang kami hening hingga usai dan sisa hari itu
berjalan begitu lama.
Entah
apa yang aku rasakan, andai Kak Frans lebih cepat mengatakannya,
andai ia mencegahku untuk menerima pinangan lelaki lain, andai ia tak
egois untuk menyimpan rasa itu sendiri... andai... ahh sudahlah.
Tidak
boleh ada yang berubah, rasa
yang kembali hadir dari pengandaianku sudah tak berarti lagi. Terlambat. Kak Frans menumbuhkan kembali rasa itu namun bukan
berarti membuang rasa yang kini telah menetap bukan? Ada hati yang
harus dijaga meski terkadang yang lain lebih menggoda, arti setia
menurutku.
Untuk
kesekian kalinya aku melirik jam tangan, sepuluh menit yang terasa
lebih panjang. Aku ingin segera pulang. Aku ingin segera memeluk
lelakiku.
“Bunga
untukmu gadis kecil”
Jantungku
berhenti berdetak, napasku tertahan untuk sepersekian detik. Satu
karangan bunga yang terdiri dari beberapa tangkai mawar putih biru
dan putih pink berpadu indah dibungkus menawan dengan kertas merah
muda bersama pita senada terangsur di depan wajahku. Tak kuasa untuk
menatap wajah orang yang kukenali betul dari nada bicaranya. Kumohon,
jangan goyahkan hati rapuhku.
------------++++++-------
Teruntuk
Kak Frans, simpan saja “rasa sayangmu” untuk gadis lain.
owh bunga itu dari kak Frans ya
BalasHapusaa tenang. dik ci nggak etrima rasa sukanya kak Frans
aku.bacanya asli dag dig dug der...Gimana Gilang yang baca yaaaa
BalasHapusaku.bacanya asli dag dig dug der...Gimana Gilang yang baca yaaaa
BalasHapusHahaha. Aku sempat cemburu loh. Haha
BalasHapusWooooww...
BalasHapusWooooww...
BalasHapus