Tiga
ratus meter dari rumahku berdirilah bangunan asri dengan 6 ruang
kelas dan satu ruangan besar yang menjadi ruang guru juga ruang
terima tamu. Setiap pagi ketika melewatinya selalu kupelankan laju
kendaraan, melirik ke Sekolah Dasar tersebut dan menganggukkan kepala
kala ada guru yang tengah berada di luar. Sebut saja Pak Yunanto,
guru olahraga yang selalu berada di luar kelas setiap harinya untuk
mengajarkan betapa olahraga adalah hal penting agar kebugaran tubuh
terjaga, dengan raga yang sehat maka penyakit tidak mudah datang,
semangat untuk merengkuh ilmu pun akan menghampiri
serta mimpi yang dicita-citakan lekas tergapai. Petuah beliau masih
teringat betul.
Belasan
tahun silam aku berada di antara teman-teman sekelas di tengah
lapangan upacara. Jumlah kami ada dua belas orang, enam perempuan dan
enam laki-laki, entah mengapa bisa seperti itu. Dulunya dibelakang
sekolah kami terdapat sekolah dasar pula namun sejak aku duduk di
kelas dua, sekolah kami bersatu dan hilanglah persaingan yang dulu
sering muncul kepermukaan.
Dipersatukan
karena semakin berkurang jumlah murid setiap tahunnya, persaingan
yang sering timbul akhirnya dijadikan kekuatan untuk bangkit bersama
agar tetap ada sekolah di kelurahan kami. Kelurahan kami terdiri dari
9 Rukun Warga (RW), namun luas wilayah menyulitkan kami jika harus
menempuh pendidikan di beda kelurahan.
Karena
jumlah warga sekolah yang sedikit memungkinkan kami untuk mengenali
adik dan kakak tingkat dengan baik. Istirahat selama tiga puluh menit
menjadi waktu berkualitas untuk menghafal tingkah polah sesama
penghuni sekolah. Dan dari situlah hal yang hingga kini masih menjadi
misteri bagiku dimulai.
Panggil
ia Bagas, kakak kelasku. Rumah kami hanya berjarak empat rumah
tetangga. Dia sering main ke rumahku bersama teman-teman yang lain
sepulang sekolah. Kami memang sering bermain bersama karena usia yang
tak terpaut jauh terlebih memang jumlah teman kami terbatas.
Aku
ingat suatu waktu saat dia datang kerumahku bersama yang lain, aku
tengah tidur siang. Mereka menunggu bangunku dengan menonton acara
kartun di ruang televisi. Namun hingga sore aku tak juga bangun maka
satu persatu pulang ke rumah masing-masing. Sebenarnya yang terjadi
aku sudah lama terjaga, namun jika mau membasuh muka harus melewati
mereka, malu dong kelihatan kucel
di depan mereka.
Tak
tahunya Bagas belum pulang, ia bermain pasir di depan rumahku.
Kuhampiri ia, ini jelas setelah aku mencuci muka dan merapikan
rambut.
“Kenapa
belum pulang?”
Sedikit
terkejut ia menyadari kehadiranku, wajahnya berubah aneh saat ia
mendongakkan kepala dari posisi jongkoknya.
“Aku
pulang dulu ya”
Eh,
aneh. Tiba-tiba saja pamit pulang.
Hari
selanjutnya teman-teman kami tiba-tiba saja membuat rusuh. Beberapa
dari mereka menyoraki kala Bagas berada dekat denganku. Aku biasa
saja, lebih tak paham apa yang mereka maksud. Begitu juga dengan
Bagas.
Berulang
hal seperti itu hingga membuatku risih juga. Mungkin begitu pula
dengan Bagas, ini membuat ia mulai menjaga jarak denganku. Meski
begitu teman-teman sering berteriak saat aku berjalan di depan
mereka, bilang bahwa Bagas mencariku, padahal jelas Bagas ada bersama
mereka dan yang disebut namanya hanya tersenyum.
Aku
makin tak paham apa sebenarnya yang mereka maksud. Dan seiring
bergantinya
siang dan malam aku mulai membenci mereka. Aku tak suka
mereka menyorakiku atau menjahiliku selama itu berhubungan dengan
Bagas. Karena sejak itu Bagas tak mau lagi bertandang ke rumahku,
bermain bersamaku ataupun dekat-dekat denganku.
Aku
tak juga berani jika harus memulai lebih dulu untuk mendekati Bagas,
teman-teman kami pasti akan membuat keributan tak jelas dari ocehan
mereka.
Beberapa
waktu
berselang akhirnya kami terpisah karena Bagas telah lebih dulu lulus.
Tidak lagi berjumpa di sekolah ternyata tidak menghentikan kebiasaan
teman-teman. Saat di rumah, ketika bertemu di warung, saat lomba
tujuh belasan bahkan sekedar aku lewat dimana Bagas dan
teman-temannya tengah duduk santai.
Tak
pernah ada keberanian muncul untuk menghentikan sikap mereka. Sedikit
kecewa sebab Bagas tak mencoba untuk menghentikan ulah
teman-temannya, atau aku saja yang tidak tahu? Entahlah aku tak
pernah berbicara langsung dengannya lagi sejak saat dulu itu.
Seharusnya
Bagas tidak boleh menjauhiku karena toh teman-temannya juga tidak
berhenti untuk meneriaki kami dengan perkataan yang tidak jelas itu.
Tapi, ahh sudahlah.
Aku
melupakan nya hingga bertahun-tahun kami kembali dipertemukan setelah
ia menamatkan kuliahnya di luar kota.
Malam
ini ia menjadi wakil desa untuk lomba bulu tangkis antar RW, aku
disana menjadi panitia perlombaan. Karena suatu sebab dimana lawan
kami tidak datang maka RW kami langsung lolos tanpa perlu bertanding.
Ada waktu yang lumayan lama menunggu giliran untuk maju.
Beberapa
kali aku menangkap Bagas mencuri pandang ke arahku yang itu berarti
aku juga melakukan hal serupa,
namun masing-masing dari kami saling memalingkan. Pemberontakan dalam
hati aku abaikan, aku sudah lelah untuk memperbaiki hubungan kami,
untuk apa berjuang jika Bagas tak ada niat untuk ikut serta.
Sial.
Bagas pindah posisi, ia duduk bersama karangtaruna RW yang berada di
depanku. Ini jelas tidak memungkinkan dia untuk melihatku namun
menyesakkan karena aku bisa dengan jelas melihat senyum itu hadir
saat mereka bercengkrama. Aku ikuti caranya, mencari tempat dimana
akses tatapanku terhadapnya hilang. Hanya beberapa menit karena
sepertinya Bagas sama tersiksanya denganku. Ia menghilang.
Jadwal
pertandingan antara Bagas dengan lawannya sebentar lagi, namun ia tak
juga menampakkan batang hidungnya. Eh, kenapa aku kini mencarinya?
Tubuhku semakin menegang setiap wasit meniupkan peluit tanda poin
bertambah untuk RW yang sedang berlaga.
Kuputuskan
untuk menghampiri ketua panitia, mengeluarkan alasan paling pengecut
untuk sekedar menghindari mata ini menikmati segala tingkah Bagas
saat bertanding nanti. Aku ijin pulang karena besok masuk kerja.
Kutinggalkan
gedung serbaguna yang masih riuh oleh sorak penonton. Rasa ini masih
mengganjal, entah sampai kapan. Kenapa tak ada keberanian dari
masing-masing kami untuk kembali memulai seperti dulu kala.
Kerikil
di jalanan menjadi pelampiasan rasa kesalku pada teman-teman, kenapa
mereka harus merusak hubunganku bersama Bagas dengan sorakan-sorakan
tak bermutu itu.
Untukmu
Bagas, apa ada yang kau sembunyikan dariku? Benarkah maksud
teman-teman bahwa sejak dulu kau ingin merasa
lebih
dari pertemanan kita? Kumohon, jika setelah ini kita bertemu maka
menyapalah karena aku masih malu untuk melakukannya lebih dulu.
----------+++++++++++------------
haii
tetangga, kita tidak mungkin seperti ini terus kan?
Kisah nyata dik ci?
BalasHapusKisah nyata dik ci?
BalasHapusCieeee bagas hahaha
BalasHapusCieeee bagas hahaha
BalasHapus