Punya abang
cowok itu nyebelin, yakin. Ngeselin juga, apalagi kalau si abang lebih rajin
dan lebih rapi dari aku. Tapi tetep aja namanya cowok, rapinya dia juga cuma
kamar sendiri. Rajin nyuruh adiknya bebenah rumah. Kayak pagi ini :
“De,
pekarangan di sapu gih”
Aku
bersungut mendengar suara abang yang lagi sok sibuk di dalam kamarnya. Ngerjain
apa coba dari tadi subuh ga kelar-kelar, heran deh. Sudahlah ga usah digubris,
terserah mau ngomong apa juga.
“De...”
Berjingkat
aku meninggalkan ruang tengah yang bersebelahan dengan kamar abangku.
Ding.... ding... ding...
Ahh sial,
handphoneku tertinggal di atas kursi terpaksa harus balik kanan meski baru dua
jengkal melangkah. “Halloo...”
“Adek cantik
mau kemana?”, suara dari seberang terdengar
“Eh”,
kepalaku berputar mengarah ke kamar abang. Sesosok pemuda dengan kaos putih dan
celana tanggung berdiri di tengah pintu dengan senyum jahil yang sudah kuhapal.
“Ganti nomer
lagi, Bang?”
“Iya, ganti
untuk yang paket data”
“Ada
gratisan telponnya?”
“200 menit
kesemua operator”
Huh.
Kumatikan telpon dalam genggaman.
“Ruang tamu
diberesin ya”
Kembali aku
melangkah menuju dapur.
“De, jangan
lupa rumah di sapu.” Mengabaikan suara abang yang sedikit berteriak karena
jarak kami yang semakin lebar memang mengasyikkan, bawel amat deh.
Rumah dengan
hanya dua penghuni saja memang sangat sepi, ayah dan ibu sedang mengantar kedua
adik kami ke rumah nenek. Kangen katanya. Kenapa nenek tidak kangen sama aku
dan abang ya?
Adikku ku
kembar perempuan, manis sekali. Umurnya baru tiga tahun, mereka lincah sekali
berlari kesana-kemari. Siapa pun yang bertemu akan jatuh cinta pada mereka,
sayangnya mereka asyik sendiri jika sudah bersama, aku dan abang seringkali
diabaikan. Mungkin karena perbedaan usia kami yang terpaut cukup jauh, tujuh belas
tahun. Sedangkan aku dan abang hanya berselisih dua tahun.
“Ini
sendoknya masih licin, yang bener dong De nyucinya”
Heemmm....
kenapa si abang menyusulku ke dapur? Menganggu sekali sih. Aku ambil sendok
yang ia pegang lalu meletakkannya bersama tumpukan piring kotor lainnya. Pergi.
Ya, tidak kulanjutkan mencuci piringnya.
Aku kembali
ke dapur setelah yakin si abang akan menghabiskan lama waktunya di kamar mandi.
Wangi shampoo menjadi penanda bahwa setidaknya ia tidak akan keluar dalam dua
puluh menit.
Pintu kamar
aku buka lebar, menggelar modul-modul yang selama sepekan ini asal tumpuk saja
di atas meja belajar. Radio mengalunkan lembut suara renyah penyiar favoritku
dalam menyampaiakan berita terkini mengenai perkembangan pariwisata daerah.
Sesekali tersenyum saat penyiar melewatkan detail keindahan suatu obyek, hhaa..
jelas aku sok tahu, karena aku sering menjelajah pesona yang disediakan alam.
Ahh, kak Bray kau harus ikut denganku untuk mengetahui ada tempat tersembunyi
yang masih luput dari banyak pasang mata.
“Kita mau
sarapan apa ini?”
Deg.... duh,
memang sudah dua puluh menit ya kenapa si abang sudah muncul lagi?
Aku bangkit,
melewati abang yang sibuk mengeringkan rambut basahnya dengan handuk yang
kemudian mengekorku.
“De, mandi
gih sekarang.”
Baiklah ini
hari mingguku, setidaknya ijinkan aku menikmati waktu sesuai keinginanku. Masih
dalam diam aku berlalu setelah membukakan tudung saji yang di dalamnya tersedia
sayur sop juga ikan asin.
Kembali aku
berhadapan dengan kertas yang berserakan di dalam kamar.
“Mandi gih
sekarang, buru..”
Aku menolak
pemberian handuk dari abang, cukup sudah kesabaranku. “Abang maunya apa sih?
Rumah udah beres, sarapan juga udah siap. Adek ga gangguin abang kan?”
Anak sulung
orang tuaku itu memang menyebalkan, mendengar rentetan kata-kataku malah
menggerakkan tangan besarnya untuk membuat rambutku berantakan.
“Bentar lagi
temen-temen abang mau dateng De, mungkin mereka disini hampir dua jam.”
Aku
mendengus kesal, ini rumah kan milik bersama tapi kenapa seolah aku memiliki
akses terbatas setiap teman abang datang. Terpaksa aku melangkah menuju kamar
mandi.
Selama dua
jam kemudian, abang dan kedua temannya sibuk memelototi laptop mereka di ruang
tengah, kertas-kertas berserakan juga gunting, solasi, garisan dan berbagai
alat tulis lainya. Tak ketinggalan beragam rupa warna cat air memenuhi setiap
sudut yang tersedia, berantakan.
Sedangkan
nasibku? Di dalam kamar dengan pintu tertutup dan dilarang untuk keluar. Ini
sudah menjadi kewajiban sejak tiga tahun silam. Parahnya kenapa aku selalu
menurut? Entahlah, abang menjadi penjaga dan pelindungku dalam banyak hal.
Terkadang tak ada kata penolakan untuk setiap perintah yang ia lontarkan. Tapi
lama-lama aku sebal juga, arrrgggghhh... kebebasanku kenapa abang yang
tentukan?
“De, sirup
nya dimana ya? Yang di kulkas abis.”
Bersiap berdiri
saat abang mencegahku, “Kasih tau aja ntar abang ambil sendiri”
“Di lemari
makan, jadi satu sama kopi dan teh”
“Makasih...”
Ada sesuatu
yang membuatku segan terhadap abang, tapi apa? Entah, aku tak paham juga.
Dua jam
berlalu dan rumah kembali hanya kami di dalamnya, abang membuka lebar pintu
kamarku, membiarkan lebih banyak udara masuk tidak hanya melewati jendela. Ia duduk
di atas ranjang, menghadapku yang sibuk memilah buku-buku yang sejak tadi tak
kunjung beres.
“Makasih ya
De udah mau nurut”
Aku mengangguk
pelan, sembari berfikir kiranya berani tidak ya aku bertanya tentang keganjilan
ini.
“Maafin
abang yah”
Kembali aku
hanya mengangguk. Tidak enak benar rasanya, takut sekali membuat abang marah.
“Mau tau
kenapa abang nglakuin ini ke kamu?”
Mataku berbinar,
kedua kaki kuseret mendekati abang, bersiap mendengarkan sesuatu yang selama
tiga tahun ini tak mampu aku ungkapkan.
“Wanita
seperti kamu adalah tanggung jawab ayah dan juga abang. Maafkan jika penjagaan
abang selama ini tidak berkenan. Abang takut melihat kenyataan bahwa wanita
sekarang sangat rentan dengan segala macam kejahatan dan godaan. Teman-teman
abang mungkin memang tidak akan berkeliling di dalam rumah kita, mungkin juga
tidak akan macam-macam kepadamu. Tapi abang sungguh takut untuk apa pun itu. Abang
hanya ingin membiasakanmu untuk menyadari betapa berharganya seorang wanita. Betapa
beratnya menjaga kehormatan yang hanya kaum kalian yang miliki. Maafkan abang.”
Ada yang
berdesir melihat abang mengucapkan kalimat itu sembari menunduk. Ternyata rasa
seganku pada abang memang karena hatiku mempercayai ada sesuatu yang mulia dari
sikap abang.
Maafkan aku jika selama ini
memendam kesal padamu.
“Bang,
jalan-jalan ke toko buku yuk”
Senyum itu
ia pamerkan kembali di hadapanku, “Ayuk..”
“Eh ga jadi,
nonton bioskop aja yuk”
Rona wajah
abang berubah seketika, ada rasa aneh dimana ia tidak menyukai ruangan gelap
bersama banyak orang di dalamnya.
“Pleaseee....”,
wajah memelas coba aku tunjukkan.
Ia mengangguk
dengan berat hati. Aku menggamit lengannya keluar dari kamar. Tenang saja, aku
tak akan mengajaknya nonton, sekali-sekali jahil sama abang sendiri boleh dong
yaa...
-------+++++---------
Asyik...nonton
BalasHapusAsyik...nonton
BalasHapusde cili..jail yaaa
BalasHapusde cili..jail yaaa
BalasHapus