“Sepertinya
ubanku bertambah banyak, iya kah Sayang?”
Aku
mengamati sebentar gerakan jari-jari suamiku yang sibuk
membolak-balikkan rambutnya ke kiri dan kanan di depan cermin besar
dalam kamar kami. Angukkan kecil kuberikan sebelum kembali berlalu
untuk meletakkan baju yang baru saja selesai disetrika.
“Lihat
ini, kerutan di keningku juga sudah mulai terlihat semakin jelas.”
“Sayang,
kau mendengarku tidak? Ahh, pendengaranku pun sudah tak sepeka dulu.”
Klek...
Merapikan
baju dalam lemari
sudah beres, aku menghampiri suamiku yang terlihat cemas, “Sebentar
lagi Iban dan Lina juga anak-anak mereka sampai, yukk kita keluar
kamar.”
“Aku
terlihat tua tidak dengan setelan baju ini?”
“Sudahlah
Yah, mereka tidak akan mempermasalahkan itu. Lagi pula kakek mereka
kan memang sudah tua”, Aku
mengatakannya dengan sedikit tertawa tentu saja.
“Kenapa
sih kau tidak memanggilku dengan kata “Sayang”, sudah tak
pantaskah aku mendengar itu darimu?”
Rona wajahku berubah, sifat manjanya yang dulu muncul lagi seiring dengan usianya yang semakin bertambah juga rasa sensitif yang berlebih.
“Aku
memilihmu menjadi wanita penjaga hatiku, inginku usia renta tidak
memudarkan rasa cintamu terhadapku.”
Entah berapa kali beliau membahas hal ini kepadaku. “Sayang, tentu bukan kau saja yang menua aku pun begitu.”
“Tapi
kenapa kau tetap terlihat cantik, tak sepertiku yang banyak berubah.”
Selama tiga puluh lima tahun bersama masih sulit saja bagiku menahan diri untuk tidak tersipu akan setiap kata-kata manis yang beliau ucapkan. Rasa panas menjalar hingga ke wajah, pasti pipiku sedang bersemu merah jambu sekarang.
“Kenapa
masih sama saja
rasa terpesonaku akan sosok mu tiga puluh lima
tahun silam?”
“Sudah
cukup Sayang, mari kita sambut anak cucu kita.”
Suamiku menahan lengan kananku, membuatku urung untuk melanjutkan langkah. Mata teduhnya menatapku, “Jawab dulu.”
“Kemarilah
akan kuulangi kembali pernyataanku.”
Aku
menuntunnya duduk di kursi yang tak jauh dari kami, meja kecil yang
berada diantaranya menjadi penyangga sepasang tangan renta yang kini
kugenggam erat.
“Bukan
wajahmu yang menjadi alasan utama kita bersama hingga kini, aku jatuh
cinta pada pandangan pertama sejak melihat rangkaian kata yang penuh
makna pada setiap goresan penamu. Dan bertambah penuh cintaku kala
hanya akulah inspirasi kau mencipta karya. Jadi Sayang, aku akan
tetap melabuhkan hati selama kertasmu tak
lagi polos.”
“Dan
berhenti jika aku tak melakukan itu?”
“Itu
yang membuatmu berbeda Sayang, dan entah kenapa aku ragu kau akan
berhenti melakukannya. Sebab itu juga lah yang membuatmu menjatuhkan
pilihan padaku.”
“Kau
salah, Aku mencintaimu karena wajah cantikmu.”
“Tidak
akan terjadi jika kau tidak lebih dulu membaca tulisanku.”
“Tetap
saja aku ragu jikalau parasmu tak seelok ini.”
“Berhenti
memujiku, perlu kuhitungkan jumlah kerutan di wajahku yang mulai
keriput ini? Atau kita adu jumlah uban saja? Seringnya aku yang
terlupa sesuatu. Pikunku mungkin beberapa tingkat lebih parah di
atasmu. Ingat saat kita mencari kunci rumah? Bertanya pada tetangga
sebelah yang biasa kita titipi? ternyata kunci itu kuletakkan di
bawah pot dibawah jendela.”
Suamiku terkikik, baguslah jika itu menjadi penanda suasana hatinya yang mulai membaik.
“Sayangnya
aku tidak mengingat hal itu.”
Astagaa... jika itu berarti aku telah memberitahukan bahwa beliau lebih pelupa maka aku harus bagaimana sekarang?
“Tenanglah,
yang terpenting sekarang kau harus tetap sehat dan kuat untuk dapat
terus menjagaku. Paham?”
Aku menggeleng.
“Kenapa?”
“Karena
kau juga harus sehat dan kuat, tugasmu untuk tetap berkarya dan
membuatku terus tersipu.”
Lelaki didepanku tersenyum, aku masih mengagumi senyum itu meski tak seperti dulu lagi. Senyum di atas wajah yang mulai tua memang tak semanis saat tulang rahangnya masih kokoh, namun arti senyuman itu masih sama berkesannya untukku.
--------------++++----------
Terinspirasi oleh pertanyaan seseorang (baca:fans) hhaa, kemarin sore.
Cieeeeeee fans
BalasHapusEh mampir...
HapusHmmm so sweet
BalasHapusHhaaa... Buka pabrik gula ajalah...
HapusMksii bun dah mampir
Masih ada hubungannya dengan cerita yang seribu puisi itu bukan de?
BalasHapusMasih ada hubungannya dengan cerita yang seribu puisi itu bukan de?
BalasHapusHhheee... Mbak lisaa inget ajaaaa...
Hapus