Aku memanggilnya bapak. Lelaki
yang telah menemani hidupku di dunia selama 30 tahun terakhir ini
dengan tiga buah hati kami yang telah hidup bersama masing-masing
keluarga kecil mereka di luar kota. Tidak satupun yang kuketahui
tentang beliau saat tiba-tiba ayah dan ibu menanyakan kesanggupanku
untuk membina rumah tangga di usia muda, 20 tahun kala itu.
Saat aku berkutat dengan
kesibukan kuliah, organisasi, masih harus ditambah lagi dengan
mengatur waktu karena aku sedang berlatih menulis, cita-citaku adalah
menjadi penulis profesional yang berbagi ilmu dalam goresan pena.
Itulah mengapa aku mengambil sastra. Haruskah aku menerima pinangan
lelaki yang usianya terpaut 10 tahun diatasku? yang pastinya akan
menuntut waktuku untuk melayani sepenuhnya.
Akhirnya kujawab iya, kalian
tahu kenapa? Karena dia seorang penulis yang merayuku dengan 1000
puisi cinta jika aku menerimanya. Empat tahun setelah pernikahan
kami, dia menuntaskan janjinya.
Uhuuk.. Uhukkk...
Jemarinya yang kurus gemetar
memegang cangkir kopi yang mulai mendingin, cairan pekat mengotori
baju, tangan, lantai dan kertas yang berserakan di atas meja. Kuambil
alih cangkir ditangannya, mengelapi tangan beliau dengan kain bersih
juga baju, setelah itu kutuntun ia untuk mengganti pakaian di kamar.
"Kau memperlakukanku
layaknya anak kecil yang sudah tidak bisa melakukan apa pun"
Bapak mudah sekali emosi sejak
karya terakhirnya best seller dua tahun lalu. Sehabis itu ia merasa
tak memiliki ide untuk menghasilkan karya kembali. Sesuatu yang
begitu kutakutkan adalah hal yang terjadi pada Ernest Hemingway
setelah novel legendarisnya "The Old Man and The Sea"
terlahir, bapak tidak boleh melakukan hal rendah semacam itu. Aku pun
tak akan sanggup jika ditinggalkan dengan cara yang begitu Tuhan
benci, bunuh diri.
Tertatih bapak menuju kamar,
segera kususul untuk memilihkan baju ganti.
"Sudah kubilang jangan
membantuku", baju ditanganku terlempar ke atas kasur.
Susah payah bapak mengganti
baju, kupungut baju kotor yang tergeletak di lantai. "Bapak mau
melanjutkan menulis atau beristirahat?", selembut mungkin cara
penyampaianku agar ia tak tersinggung.
"Aku mau tidur, kau
keluar sana"
Bapak kembali menyentakkan
tanganku kala ingin kututupi tubuhnya dengan selimut, kutinggalkan ia
dengan senyum tulus, semoga beliau menyadari bahwa karya Tuhan yang
setia di sampingnya ini telah ia menangkan hatinya.
Kubersihkan ruang tamu yang
masih berantakan tadi. Hingga tangan berkerut itu menepuk pundakku,
aroma tubuh yang selalu kurindu memenuhi rongga dada, menahan setiap
kata yang ingin terucap agar kesempatan bapak menyampaikan maksud
hatinya tak terpotong.
"Sudikah kiranya adinda
membaca ulang puisi ke 789 untukku sekarang?"
Ahh... Bapak, ia tetap saja manis.
1000 puisi keren sang bapak
BalasHapusBang gilang buat yang ke-1001 dong :)
HapusPengen baca puisi yang ke 699 :D
BalasHapusTulisan nya manual, tintanya dah kabur...
Hapus