“Hei,
boleh aku duduk disamping mu?”
Aku
mengangguk, sedikit mendongak untuk melihat sekilas seperti apa wajah
orang yang mau duduk disampingku. Lelaki ini tinggi, berkulit sawo matang sama seperti ku, bola matanya hitam berkilau,
rambutnya sedikit gondrong dengan poni yang menutupi dahinya.
“Kau
bisa bermain denganku?”
Ya
ya ya memang ini adalah hari pertama kami menginjakkan kaki di
sekolah menengah atas, pantas saja jika kebanyakan teman-teman
sekelasku bergerombol dengan teman-teman satu smp nya yang beruntung
diterima di sekolah dan kelas yang sama. Yang lainya dengan segera
sudah memiliki pasangan karena cukup aktif untuk berkenalan,
memberikan kesan pertama yang manis seolah-olah merupakan kandidat
teman dambaan.
Aku
sendiri ?? haahaa, tujuanku masuk kesekolah ini bukan untuk mencari
teman, bukan juga untuk mencari ilmu, lalu ? Ikuti saja kisahku.
Lelaki
disampingku masih menanti jawaban dari pertanyaan yang dilontarkannya
tadi. Sebelum kakinya beranjak pergi aku menahannya dengan memberikan
respon. Yah, aku juga butuh teman, satu cukuplah karena tidak mungkin
bergerilya di sekolah yang kata orang tempat ini
dipenuhi dengan sifat penunggu nya yang labil.
“Main
apa?”
“Kau
baru bertemu denganku bukan? Kita tak pernah bersua sebelumnya ya?”
“Aku
paham arah pembicaraanmu”
“Bagus,
sudah kuduga”
“Kau
yang mulai”
“Aku?
Baiklah... kau adalah tipe siswi yang tidak akan banyak gaya
kedepannya layaknya murid-murid SMA pada umumnya yang melakukan hal
menakjubkan dengan alasan pencarian jati diri”
Aku
tersenyum bukan karena analisanya namun gayanya meletakkan
dua jari, seperti tanda petik di depan mukaku saat ia bilang menakjubkan.
“Lalu?”
“Kau
memiliki tingkat peka yang melebihi rata-rata, itulah kenapa aku
ingin duduk disampingmu, karena bisa dipastikan hal-hal menarik akan
kita temukan bersama”
Aku
mengerutkan dahi, aku paham kenapa dia menilaiku seperti itu, hanya
karena aku bisa menebak bahwa permainan yang dia ajak adalah analisa
terhadap masing-masing dari kami, padahal awalnya aku mengira dia
akan bermain sulap, kata-katanya persis dengan pesulap-pesulap dilayar televisi. Tapi kubiarkan saja, toh kesan pertama
dimata teman pertamaku ini sepertinya menarik.
“Kelihatannya
kau cerdas, namun sesuatu yang membuatku penasaran adalah wajahmu
tampak terlalu polos untuk anak yang menginjak remaja, seperti yahh
mungkin seharusnya kau belum lulus smp, hhaa”
Dia
merasa itu sebuah lelucon atau pujian, namun yang tidak dia
tahu adalah hatiku berdegub kencang. Bagaimana bisa dihari pertama sekolah bertemu dengan seseorang yang begitu memperhatikan
setiap detail dari objek observasinya, bahkan saat tatapan pertama.
Entah apa lagi yang bisa dia bongkar jika kami bersama untuk waktu
yang lama.
“Giliranku”
“Baiklah,
utarakan analisamu Desuu”
“Kau
adalah orang yang tak ingin menjalani masa SMA dengan biasa saja,
termasuk hal menakjubkan seperti yang kau maksudkan, aku tak tahu kau telah
terpengaruh oleh film luar negeri atau semacamnya yang jelas bukan
sinetron negeri tercinta dengan kisah anak sekolah dimana meski
setting yang digunakan adalah sekolah namun jarang terlihat mereka
berada di dalam kelas untuk berdiskusi tentang pelajaran”
“Bahasamu sopan juga, lanjutkan”
“Kau
menyukai Jepang, terlihat dengan gaya rambutmu dan juga penggunaan
kata sapaan untukku”
Matanya
berbinar, melihatku tanpa berkedip, “Kau luar biasa Desuu, kita
harus berteman”
Aku
tersenyum, menarik perhatian lawan jenis adalah keahlianku, bukankah
mereka selalu mendewakan penampilan kala memutuskan untuk mendekat,
dan aku memiliki itu juga permainan singkat kami. Berbeda dengan kaum ku yang heemmm... sedikit
mencibir kala ada satu makhluk dari kami yang mereka anggap lebih baik dari
segi fisik itu bisa disebut juga sebagai ancaman, fiuhhh,
menggelikan.
Namun
bukan sesuatu yang kuharapkan di awal, berteman dengan orang
beranalisa jitu bisa menjadi bomerang untukku kedepannya. Banyak hal
yang kutakutkan, bersekolah disini juga merupakan pelarian dari
segala yang kuanggap tak seharusnya terjadi lagi.
Bel
berdentang tiga kali tanda untuk memaksa murid-murid meninggalkan
kebebasan mereka dan berkumpul di dalam ruangan kelas untuk
mendapatkan tujuan keberangkatan mereka ke sekolah. Aku belum memutuskan
apakah akan berteman atau tidak dengan Kira. Sebutanku untuknya,
karena bagiku dia terlihat seperti memiliki dewa kematian dalam film
Jepang yang berjudul “Death Note”.
Akankah
aku menjadi orang pertama yang akan terenggut nyawa olehnya?
Wow...hororkah ini?
BalasHapusSepertinya Horor... Emmm...
BalasHapusKeknya sih bukan horor, tapi sarkastik, keren...
BalasHapusTerengut cintanya haha
BalasHapuskeren..aku suka..aku suka :)
BalasHapusLanjutkan, De..penasaran nih
BalasHapusMisterius
BalasHapusbikin penasaran..:)
BalasHapusReading!
BalasHapusPenasaran part lanjutannya. Dewa Kematian!
Kira. Dewa kematian. Nadilla jadi teringat suatu novel yang pernah Nadilla baca dulu...
BalasHapussemoga tebakan mbak april benar. keren banget, semog bukan horor kelanjutannya
BalasHapusGelarrr tendaaa.... membaca dengan seksama
BalasHapusIndo nuansa korea kah,.. hhe.. lanjuttt...
BalasHapuswah mbak Ciani suka Death Note juga?^_^
BalasHapus