Pelajaran
telah usai sejak satu jam yang lalu, suasana perlahan mulai lengang.
Sesekali melintas satu atau beberapa siswa yang masih memiliki
keperluan di sekolah. Ruangan guru telah kosong pun dengan semua
ruang kelas. Angin menerbangkan suara samar dari lapangan basket yang
tersembunyi di sudut sekolah, bulan depan sekolah mereka akan
mengirimkan atlet-atlet terbaik untuk pertandingan basket nasional.
Menghadap
taman buatan yang kecil namun terawat dengan warna-warni bunga
menjadikan tempat duduk dari semen ini sebagai favorit siswa untuk
bercengkrama, juga tempat yang pas menghabiskan siang melelahkan yang
terasa lebih panjang dari biasanya.
Kira
masih terdiam sesekali melirik gadis disampingnya yang tertunduk
lesu, sorot matanya kosong, wajah sendu itu menghadirkan pilu pada
relung jiwa. Sudah beberapa kali ia melemparkan guyonan untuk menarik
simpati gadis itu, gagal.
Desuu
paham benar ia telah membuat lelaki disampingnya canggung, tapi
salahnya sendiri yang ngotot untuk menemani orang gundah yang entah
kapan akan beranjak pulang. Ia tak hanya sedih dengan kenyataan akan
Kak Frans, betapa ia telah menaruh harapan besar kepada laki-laki
itu. Juga bagaimana caranya menyampaikan salam perpisahan pada
partner gilanya ini.
“Emmm...
Mau aku beliin sesuatu?” Kira tak henti mencoba .
Perhatian
kecil ini sudah berlebihan, akan semakin perih luka yang Desuu
tinggalkan untuk seseorang yang selalu ada disisinya saat
bagaimanapun suasana hatinya. Belum genap enam bulan mereka bersama,
namun enggan rasanya beranjak dari kenyamanan yang ditawarkan Kira.
Kira
menopang dagu, ia menyerah untuk mencoba. Ia akan diam saja, sampai
Desuu sendiri yang menyuruhnya untuk bicara.
Sepuluh
menit berlalu dan tak ada tanda-tanda Desuu akan membuka pembicaraan.
Dua
puluh tiga menit berikutnya, masih sama. Senyap.
Kira
berdiri, ia tak betah berlama-lama duduk tanpa gerakan seperti Desuu,
membuat kebas kaki-kakinya. Bagaimana bisa fakta akan Kak Frans
membuat Desuu macam patung.
Desuu
juga berdiri membuat Kira sedikit mengulum senyum, bukan patung
ternyata.
Sudah
mantap hati Desuu untuk mengutarakannya saat ini, segala resiko sudah
ia pikirkan matang-matang.
“Kira,
aku ingin kembali ke kota.”
Rasa
kebas kini menhujam hatinya, ucapan macam apa ini.
“Desuu,
sudah kubilang di awal bukan... bahwa memang kau tak pantas memiliki
perasaan berlebih terhadap anak jalanan macam Kak Frans.”
Bodoh,
Kira mengumpat dalam hati. Tak seharusnya ia menggoreskan luka baru
di atas luka yang masih menganga, lirih ia berbisik, “Maaf...”
Senyum
getir tergambar jelas, Desuu hanya menunduk meyakinkan hati kecilnya
tentang kebenaran ucapan Kira.
“Tujuan
awalku tinggal sementara di desa ini sudah terlaksana.”
“Tunggu,
maksudmu?”
“Ya..
sejak awal aku sudah mengerti tentang perilaku Kak Frans dan
satu-satunya jalan untuk membantunya adalah mengembalikan ia pada
jalan yang benar. Dan untuk itu semua aku memerlukan bantuanmu.”
“Aku
tidak merasa membantumu.”
“Rasa
ingin tahumu membuka banyak informasi yang aku butuhkan.”
Kira
memijit lembut keningnya, mencoba mengingat apa yang telah ia lakukan
untuk Desuu.
“Bergabungnya
kita di Osis membuat Kak Frans menyadari kehadiranku di dekatnya,
penguntitanmu meyakinkannya bahwa aku tidak main-main untuk janji
yang telah terucap sebelum memutuskan untuk pindah ke desa.”
“Oooh,
itu karena keinginanku semata, kau tidak pernah memintanya.”
“Karena
aku sudah tahu kau akan melakukan ini.”
“Terima
kasih karena telah membuatku merasa berguna.”
“Aku
akan kembali besok siang.”
Kira
mengacak-acak rambutnya, gemas. Entah apa yang mesti ia lakukan. Tak
mungkin menahan gadis ini, atas dasar apa? Tapi jika membiarkannya
pergi maka semangat hidupnya juga ikut lenyap.
“Kira,
percayalah kau hanya perlu beberapa malam untuk melupakan semua,
jadikan niat awalku untuk memperalatmu sebagai sumber kebencian nyata
yang tak ada penyangkalan.”
Kira
mendesah pelan, konyol mana bisa semudah itu. Dalam hati ia
menyumpahi Kak Frans yang begitu bodoh menyia-nyiakan perhatian
berlebih dari gadis sendu yang tengah menahan air matanya agar tak
tumpah.
“Besok
jam 9 pagi aku dan Ical akan mengunjungi Kak Frans di panti sosial,
setelah itu Ical akan mengantarku ke stasiun untuk keberangkatan
kereta jam 11 siang. Aku pamit pulang, semoga sisa harimu
menyenangkan. Terima kasih untuk kebersamaan kita selama ini. Sampai
jumpa.”
Tuhan...
kenapa saat akan berpisah baru kau ijinkan Desuu untuk panjang lebar
dalam berbicara. Beberapa kalimat dalam satu tarikan napasnya, yang
begitu menggembirakan hatiku namun justru berisi ucapan selamat
tinggal.
Kira
tak berniat mengejar Desuu yang semakin jauh, ia masih begitu
terkejut tentang kenyataan bahwa hari-hari setelah ini tak kan sama
lagi. Tunggu, kenapa Desuu harus menjabarkan kegiatannya besok?
Bersambung....
asyiiik masih bersambung....
BalasHapusasyiiik masih bersambung....
BalasHapus