Hari ketiga di rumah nenek,
Ibu telah memutuskan untuk mengabulkan permintaanku. Rasa melayang
bak mendapat siraman sinar mentari yang menyembul di tengah lebatnya
hutan hujan. Hangat menjalar keseluruh tubuhku, gembira tak terkira.
Terlalu sore aku menapaki
jalanan sempit menuju rumah yang Ical tunjukan, tak begitu jauh dari
rumah nenek. Urung menaiki sepeda karena tegalan sawah yang becek
juga rawan terjun bebas
masuk ke sungai-sungai deras.
Memasuki ladang tetangga yang
luas dan sepi menciutkan nyaliku, tapi tak apa sebentar lagi akan
sampai. Terdengar suara bercakap-cakap di ujung kebun, akhirnyaa...
aku mempercepat langkah.
“Duhh gusti..
rejeki diparani wong wedok ayu”
“Rene nduk, ngancani kang
mas”
Kepalaku berdenyut hebat...
dejavu.
“Boss, ayu
hlo iki.”
“Orasah do macem-macem,
jaluk duite ae”
Suara yang kuduga bos mereka
terdengar serak seperti tak seutuhnya sadar. Aku memasang kuda-kuda
bersiap saat salah satu dari pemuda mabuk tersebut mendekatiku.
Mengelak halus saat tangan kotornya berusaha menyentuh wajahku.
“Uis to nduk, gorene duwitmu
kabeh.”
Aku bergeming. Di dalam otakku
sedang bersiap balik kanan dan kabur sembari mengumpat diri. Kenapa
menolak niat baik Ical yang ingin mengantarku? Kenapa tak menurut
nasihat nenek untuk pergi besok pagi saja?”
Gedebum...
Bagus... kuda-kudaku tak
berguna.. aku terlalu dalam membayangkan hingga hilang kewaspadaan.
Segera bangkit dan melakukan perlawanan. Perebutan hak milik dari tas
kecilku terjadi sengit. Tendangan bertubi-tubi menjadi hadiah bagi
lelaki yang terhuyung-huyung di depanku. Yang lain tertawa mengejek.
“Karo cah wadon kok
kalahan.”
Merasa diremehkan, lelaki itu
dengan kasar mendorong tubuhku hingga terjerembab. Menendang tangan
yang mencengkram kuat-kuat tas kecilku.
Sadar akan posisi aku berniat untuk berlari, tak peduli dengan isi
tas yang kini sudah bertebaran di atas tanah.
Belum juga melangkah tanganku
dicengkram kuat, tapi bukan oleh lelaki yang tadi. Lelaki ini
memaksa untuk masuk ke dalam
ladang, dibelakang terdengar
riuh suara mereka
meneriakkan hal-hal yang tak kupahami. Aku berusaha untuk melawan,
sia-sia. Kugigit lengan kekarnya, dan berhasil membuatnya terpaksa
melepaskanku. Berlari
sekuat tenaga tanpa menoleh.
“Aliss....”
Tidak... jangan... jangan
suara itu... kumohon...
Mendadak kakiku berat
melangkah, perlahan kutolehkan wajahku mencermati seseorang yang
memanggil. Lidahku kelu. Kenapa harus dipertemukan dengan cara yang
seperti ini?
Bersambung....
Seru nih mba. 😰😂😂😀
BalasHapusSeru nih mba. 😰😂😂😀
BalasHapushhmmm..aku gagal fokus bacanya
BalasHapusbaca dari episode satu lagi mbak lisa, hhhaaa
Hapushhmmm..aku gagal fokus bacanya
BalasHapusSiapa sih dia, penasaran
BalasHapus