Setelah
sore itu...
Ical
duduk menempelkan punggungnya pada pohon jati, kami membentuk
lingkaran kecil di tengah hutan ini tanpa beralaskan apapun. Kami
yang aku maksud adalah aku, Ical dan lelaki yang menyebut namaku
kemarin, Kak Frans.
Pertemuan
yang telah Ical rencanakan, ia tak ingin pertemuan kami dimulai
dengan prasangka yang tidak semestinya. Apa pun itu, aku wajib
mendengarkan setiap kisah Kak Frans.
Hening...
desau angin menjadi satu-satunya suara di siang yang terik ini.
Helaan napas tertahan terdengar lirih sebelum Kak Frans mulai
bercerita.
“Hidupku
berat, Aliss.. sungguh berat.”
Tanganku
sibuk membentuk garis tak beraturan di atas tanah.
“Aku
terlahir dari rahim seorang ibu yang baik. Hingga saat ia menyadari
satu hal bahwa kelak anak laki-lakinya akan membongkar aib masa
lalunya.”
Ical
takzim tak menyahut.
“Kakek
dan nenek mengambil hak asuh saat mataku belum sempurna membuka. Ibu
terlalu ringan tangan dan terlupa bahwa sentuhannya harus sedikit
lembut pada bayi lemahnya. Tubuhku tidak merah seperti kebanyakan
bayi yang lain, ada sedikit warna biru.. ya, nenek yang
menceritakannya saat aku bertanya kemana ibu pergi.”
Tak
ada yang menyahut.
“Pagi
itu mereka
membawaku untuk imunisasi, becak yang mengantar kami tersenggol bus
antar kota antar provinsi yang melaju cepat. Tubuh kami terpelanting,
beserta tukang becak di
jalan beraspal.
Aku menangis sendiri menyadari darah mengalir dari masing-masing
kepala mereka. Hanya dua tahun kami diijinkan bersama.”
Kak
Frans menarik napas sebelum melanjutkan ceritanya.
“Aku
ditolong dan dibawa oleh seseorang yang mengajariku bertahan hidup di
jalanan. Apa pun yang bisa kau lakukan untuk mendapatkan sesuap nasi,
maka lakukanlah. Itu hal yang ia tanamkan selalu.”
Aku
mengerti benar ia sedang menunggu
respon dariku.
“Bunda
Elin mengembalikan masa kecilku tiga tahun kemudian. Dalam hitungan
bulan kau hadir menyempurnakan semuanya.”
Sesak
di dadaku muncul kembali.
“Keputusan
untuk meninggalkan panti diam-diam membawaku kembali ke jalanan.
Bertemu
kembali dengan orang yang dulu berbaik hati merawatku sejak
kecelakaan itu. Ia menentang keinginanku
untuk bersekolah, buang-buang uang katanya. Namun ia luluh saat aku
katakan bahwa dengan berpendidikan kita lebih mudah untuk mendapatkan
segala yang kita inginkan. Tidak perlu takut masuk keluar jeruji besi
jika warga memergoki ayamnya raib tengah malam kemarin. Penjara tak
memiliki kekuatan jika kita berpangkat.”
“Dari
mana kau tahu semua itu, Kak?”
Ical
akhirnya angkat bicara. Ada nada kecewa kenapa bukan
aku yang berkomentar.
“Aku
membaca huruf yang dicetak besar-besar pada koran yang kugunakan
sebagai
alas tidur.”
Bocah
itu manggut-manggut.
“Semua
uang sekolah dibiayai olehnya, jadi aku berkewajiban untuk
menyetorkan uang setiap hari. Dia sangat senang melakukan ini semua,
menyekolahkanku adalah investasi
baginya.”
Aku
tak tahu harus bagaimana, semua ini masih sulit untuk diterima.
“Alisss...
kumohon, bicaralah.”
“Kesalahan
besar kau pergi dari panti.”
Kali
ini dengan berat Kak Frans siap membela diri, “Terlalu sakit berada
pada kenyataan dimana memang kau tidak diharapkan.”
Tatapan
benciku menghujamnya, “Bunda Elin tidak seperti itu.”
“Bukan
Bunda Elin, tapi mereka. Anak-anak yang dibawa oleh orang tua angkat
mereka akan kembali ke panti, memerkan mainan baru dan juga
mengolok-olok yang masih tertinggal.”
“Tak
seharusnya itu membuatmu meragukan kasih sayang Bunda Elin.”
Gelengan
lemah Kak Frans membuka fakta baru, “Tidak sesederhana itu, Alis.
Kau memiliki Ibu yang luar biasa menyayangimu.”
“Kau
punya Bunda Elin.”
“Berhenti
menyalahkanku, sebaik apapun Bunda Elin dia tetap bukan ibu
kandungku.”
Aku
beringsut menyadari nada suara Kak Frans yang meninggi. Ical masih di
posisinya semula.
“Maafkan
aku, Alis. Percaya padaku semua akan baik-baik saja. Aku berjanji
padamu.”
Aku
sudah berdiri sempurna, “Ical, antarkan aku pulang.”
Ical
terburu-buru menggunakan
sandal jepitnya. Kami meninggalkan Kak Frans yang masih tertunduk
lesu.”
Takut-takut
Ical berbisik padaku, “Kak Alis, mengertilah keadaan Kak Frans.”
Senyum
mengembang di wajahku merubah rona muka Ical seperti sedia kala, ia
selalu tahu kakaknya ini tak akan mudah marah.
“Tenang
saja, aku akan membantu Kak Frans. Yang terpenting, rahasiakan
kepindahanku ke
desa
ini.”
Mata
Ical mengerjap, terlihat kelegaan luar biasa disana.
Bagaimanapun cara takdir
mempertemukan kita, tak akan mudah untuk merobek rasa yang telah
tertanam kuat. Kak Frans, gadis kecilmu ini akan hadir
untuk kembali
membawamu terbang. Percayalah.
Bersambung...
Wah...kalimat terakhirnya sukaaa...bagaimana pun takdir mempertemukan kita, tak akan mudah merobek rasa yang telah tertanam kuat.
BalasHapusWah...kalimat terakhirnya sukaaa...bagaimana pun takdir mempertemukan kita, tak akan mudah merobek rasa yang telah tertanam kuat.
BalasHapusTakdir akan mempertemukan kita percayalah.
BalasHapusTakdir akan mempertemukan kita percayalah.
BalasHapusmasalalu frans yang memprihatinkan
BalasHapusApa saya ada tertinggal cerita, yah... belom jua paham... #tik tok tik tok
BalasHapusTakdir tak akan tertukar.
BalasHapusSerangga yg gagal menabrak mata kita karna penutup kaca helm bukan berarti ia gagal menjalankan takdir, tp takdirnya mmg nabrak kaca helm.
#Kok aku mulai ngelantur yak..?😀😀