1 tahun yang
lalu...
Bayangan Kak
Frans mulai memudar seiring bergantinya musim... langkah berat ini tak lagi
semata beralasan olehnya, ada hal besar lain yang kini memenuhi pikiran. Kak Bella, kakak kandung satu-satunya berniat
melanjutkan sekolah ke kota Paris untuk memenuhi hasratnya akan mode. Ibu menimbang
penuh perhitungan karena sebagai single parent ia memiliki tanggung jawab besar
melindungi kedua belah hatinya. Paman membuka lebar rumahnya sebagai tempat
bernaung jika Ibu menemani Kak Bella di negeri orang.
Sekarang, Ibu
sedang mencurahklan segala gundah gulananya kepada nenek, perempuan yang mengajarkan arti tangguh pada ibu. Aku menolak
mendengar diskusi mereka. Kebun jati tak jauh dari rumah nenek menjadi tujuanku
mengasingkan diri, menikmati hembusan angin juga dedaunan kering yang berserak.
Di desa kecil ini, tempat dimana aku dilahirkan tidak banyak berubah sejak
kutinggalkan delapan tahun lalu untuk pindah ke kota. Hidup berdekatan dengan
paman.
Bayangan hitam
melintas cepat di belakang, tertangkap ekor mataku dengan kilat. Ahhh,
mungkin hanya daun kering lagi yang terjatuh. Kali ini disusul langkah kaki
yang sedikit berlari. Oke, ini bukan daun. Kutolehkan wajah untuk mengecek ke
belakang, nihil. Dan seseorang telah berada di depan saat aku kembali ke
posisi semula.
Senyum manis
itu tak jauh dari wajahku, membuatku serasa mati berdiri. Tinggi badannya tak
jauh berbeda, tubuhnya kekar dan juga hitam. Yang tak bisa terlupa adalah pitak di kepala sisi kanannya yang bagaimanapun mencoba tak mampu
tertutup oleh rambut ikalnya.
“Icaalll....”
Bocah kecil
itu terkekeh. Jika dulu aku selalu memeluknya saat bertemu kali ini ada rasa
canggung karena kami telah tumbuh dewasa.
“Kak Alis ga
meluk aku?”
Ku jitak
kepalanya, “Ku tendang jika kau mulai menggoda.”
Tawa renyahnya
tak berubah, senyum polosnya melemparkanku saat ia masih di panti asuhan Bunda
Elin.
“Sesuai
perkiraanku, Kak Aliss akan tumbuh menjadi gadis cantik.”
Tinjuku sudah
berada di depan wajahnya jikalau ia mulai meracau lagi.
“Kenapa kau
bisa ada disini, Cal?”
“Sejak saat Kak Frans pergi dan Kak Alis tidak pernah menjenguk kami lagi, aku memohon ijin kepada Bunda Elin untuk pergi dari panti.”
“Maafkan aku
Cal”
“Yang berlalu
tak perlu disesali, Kak. Bunda mengijinkanku untuk ikut dengan kerabat yang
tinggal di sini setelah memastikan mereka benar kerabatku.”
“Ngawi memang
kota yang meneduhkan. Kau sekolah disini?”
“Itu harus,
dan aku bekerja di kebun jati ini sebagai balas budi kepada mereka.”
Aku memandang
Ical dengan takjub. Semangat anak ini luar biasa, tidak pernah padam.
“Kak Alis ada
apa kemari?”
“Ada perlu
dengan nenek. Tunggu, jadi ini kebun jati yang kau maksudkan?”
“Jadi rumah
nenek Kak Alis berada dekat sini?”
Aku
mengangguk. Ical tersenyum bahagia.
“Kakak harus
pindah kesini, kita harus membayar waktu-waktu lalu yang terbuang.”
“Sungguh aku
terharu menjadi orang yang kau rindukan.”
Ical menunduk
malu.
“Kak Alis...”
“Hemmm... ya?”
“Kak Frans ada
disini.”
Hatiku berdesir,
entah rasa apa ini. Kepalaku berdenyut dan kedua telapak tanganku berubah
dingin.
“Ia juga
bersekolah di SMA Nasional Dua.”
Tak ada kata
perpisahan, aku meninggalkan Ical yang termangu. Berlari sekuat tenaga
menuju rumah nenek. Ibu tak perlu setengah hati untuk meninggalkanku di sini. Semua
akan baik-baik saja, kuputuskan untuk tinggal bersama nenek. Merengkuh kembali
kenangan masa kecil bersama ical dan juga Kak Frans.
Kak Frans...
ada yang perlu kita selesaikan.
Bersambung...
Sragen ngawi..kanan kiri hutan jati
BalasHapusAh, kak Ical knp hrs malu2 ??
BalasHapusJangan bilang urusannya terkait hutang piutang ya mba. Heheh..😀😀
BalasHapus