Dini hari, saat dunia sekitar
kami masih sunyi pak mimin mengantarku masuk desa, beliau tukang becak yang mangkal di perempatan tempat bus juga angkutan menurunkan penumpang. Dulu ia
adalah langganan ibu ku bila memborong barang-barang untuk mengisi
toko kelontong di rumah, jika aku tak perlu pergi ke sekolah maka aku
diijinkan ikut serta. Duduk disamping ibu dengan belanjaan penuh
hampir menutupi wajahku, tak cukup memberatkan walaupun menimpa
tubuhku karena ini hanyalah chiki-chiki beranega merek dan rasa. Aku
selalu merengek untuk mencicipinya setiap pulang sekolah dan ibu baru
akan memberiku jika aku menghabiskan makan siangku.
Kini rambut pak mimin telah
memutih semuanya namun kakinya tetap kokoh mengayuh becaknya yang
seringkali menimbulkan bunyi gemeretak, ia bercerita panjang lebar
tentang pak lurah yang keukeuh mempertahankan lahan persawahan
guna diganti dengan pembangunan rumah-rumah baru.
Kenangan masa kecil ku kembali
terlempar jauh kebelakang, di siang terik sepulang sekolah jika aku
membandel tidak tidur siang maka aku akan membawa ember kecil,
menyebrangi jalan depan rumah menuju kali kecil dengan aliran air
bening yang cukup deras. Entah apa motivasiku saat itu karena aku
akan menyirami jalanan dengan ember kecilku tersebut, ibuku hanya
mengawasiku dari teras rumah seraya menunggu toko kelontong kami,
orang-orang yang berlalu lalang juga para pembeli hanya
menggeleng-geleng tak paham akan aktivitasku. Jika siang begitu terik
maka jalanan akan cepat kering kembali dan aku akan menyiraminya lagi
mulai dari ujung hingga seluruh jalan depan rumah terasa dingin.
Setelah itu jika lelah belum
datang aku mencari keong meski harus masuk lumpur untuk
mendapatkan lebih banyak lagi. Keong itu ku apakan? Entahlah karena
seingatku kami tak memiliki peliharaan apa pun.
Jika sing itu aku kelelahan
maka malam harinya sulit bagiku untuk terpejam, dan aku akan menemani
ibuku yang sedang berbincang-bincang dengan pembeli yang silih
berganti, memandangi langit malam yang bertabur gemerlap bintang.
Benda langit yang membuatku
terpana dan seringkali menjadi alasanku untuk tak segera beranjak
meski malam kian larut.
Ibu
menutup tokonya jika dirasa kantuk telah menguasainya, beliau adalah
orang yang begitu peduli dengan kesehatan tubuhnya karena ia ingin
selalu sehat agar aku tak kehilangan moment apa pun bersamanya. Kunci
kuning itu tergantung di depan cermin besar dalam kamar kami,
hal yang terakhir kali ku lihat sebelum memejamkan mata.
Pak
mimin berhenti di depan rumah minimalis yang dipenuhi dengan pohon
cabai rawit, ibu tak lagi membuka warung kelontong beliau lebih suka
menghabiskan masa tuanya dengan menanam cabai juga merawat kebun
rumah yang di penuhi dengan beraneka macam tanaman obat.
Aku mengangsurkan selembar
uang dua puluh ribuan dan pak mimin meninggalkanku dengan senyum
penuh terima kasih, mungkin ini rezeki awal pembuka harinya.
Pintu dengan ukiran yang
berdiri tegak di hadapanku kini tak segera ku ketuk, aku berbalik
arah dan memandang luasnya sawah yang terbentang sepanjang mata, tak
banyak yang berubah. Aliran kali ini masih bening juga sama derasnya,
suara kodok bersahutan meramaikan dunia yang bermandikan cahya
rembulan.
Ibu.. kau lah sosok yang
mengajarkanku segalanya, tentang apa pun yang ingin ku ketahui. Kini
dengan tubuh mu yang renta tak perlu lah lagi kau mengawasiku untuk
bermain karena kita akan bersama-sama duduk di teras membicarakan
hal-hal ringan dengan seduhan teh hangat juga biskuit gandum
kesukaanmu. Aku rindu, sangat rindu saat kau mengeluarkan
segala macam nasehatmu yang sebenarnya telah kuhapal di luar kepala,
namun kali ini aku tak akan menghentikannya walaupun setelah beberapa
tegukan teh hangat membasahi kerongkonganmu kau akan mengulangnya
lagi dan lagi.
kangeeen ibu juga...
BalasHapusIya jadi kangen IBU juga
BalasHapusIbuuuu (0.0)
BalasHapusKeren mba ciani... hehehe
BalasHapusRindu ayah. Nah loh, keluar tema nih, hehe
Jadi inget di kampung cari keong waktu kecil cari keong :D
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusJika sing itu aku .... Maksudnya siang, kan?
BalasHapusKata ku seharusnya disambung dengan kalimat sebelum atau sesudahnya. Contoh: Kupegang tangannya, Kupukul kepalanya hingga dia pingsan, bungaku mekar di taman, dan sebagainya..
Semangat terus menulisnya, mbak..
Iya bang, typo
HapusMksii ilmunya bang.
Jadi ingat kampung halaman ...
BalasHapusAdus kali (mandi di sungai), nyuri tomat di sawah orang, nyuri semangka di kebun orang ...
Hadewww masa kecil yang penuh petualangan, meski gk baik :)
Jadi pengen pulang kampung ... dulu waktu kecil juga aku suka banget tuh nyiramin tanah yg kering dgn air... biar debunya gk masuk rumah... jadi pengen nulis ttg masa kecilku jadinya... hehe
BalasHapus