Pepatah jawa yang kurang lebih berarti cinta akan datang karena terbiasa.
Sepertinya aku merasakan itu.
Delapan jam produktif bersama dan terulang berulang kali hampir selama setahun sepertinya sudah memenuhi syarat untuk mewujudkan pepatah di atas. Tak semudah itu ternyata.
Bukan karena kami di bawah naungan perusahaan yang sama atau kekasihnya yang baru menjadi mantan dua bulan lalu, tapi karena kami berbeda ya berbeda. Perbedaan yang menjadi dinding penghalang terbesar yang tidak bisa kubayangkan bagaimana kedepannya.
Tak ada ungkapan cinta yang transparan, hanya selingan-selingan perhatian yang tersirat kasih penuh harap.
Sore itu wajahku masih basah oleh air wudhu, kulihat ia melirik ke arahku dan segera tertunduk kala mengetahui aku menangkap tingkahnya itu. Menyibukkan diri hingga aku berlalu dengan mukena dalam genggaman.
Aku keluar dari mushola kantor dan mendapatinya bersandar pada tembok menungguku. Aku mendekatinya, menghirup aroma tubuhnya serta menikmati senyum dengan lesung pipit di wajahnya.
"Mau kemana rapi amat?"
"Aku tak ke gereja sek ya, San"
Ooo aku lupa ia pasti tengah sibuk pelayanan untuk misa sore ini.
Kami hanya manusia, tak mampu menolak kuasa cinta yang jikalau bisa ingin aku menyudahinya. Kali ini tak lupa aku berdoa dalam hati agar ia tetap seperti ini, tak perlu mengatakan pada dunia tentang apa yang kami rasa.
Tapii.... Aku masih belum bisa memikirkan apa jawabanku kelak jika ia bertanya padaku tentang kesediaanku suatu saat nanti.
fiksi apa kisah nyata
BalasHapusAtau fiksi yang di ilhami kiash nyata. welah opo bedane...
Hhhaa... Terispirasi dr kisah nyata, hanya sedikit di dramatisir.
Hapus